"Panenan pada bulan Januari pasti akan berbeda dengan Agustus. Maka, upaya standarisasi itu dimulai dari bibit atau benih yang berasal dari seleksi plasma nutfah yang bisa stabil senyawa aktif dan produktivitasnya dalam rentang waktu dan ekologi yang beragam sehingga bisa menghasilkan produk simplisia yang standar," ujar dia.
Pola budi daya yang diberikan pun harus mengacu standar budi daya obat yang baku untuk menjaga seperti, sinensetin yang ada di kumis kucing, apigenin yang ada dalam seledri, kadar kurkumin yang ada dalam temu lawak maupun kunyit harus masuk ke dalam standar, tidak bisa terpaku dalam satu angka, harus jarak.
"Misalnya, kadar kurkumin tidak boleh kurang dari 1,8 persen. Artinya, boleh lebih dari itu, tetapi tidak boleh kurang dari itu karena khasiatnya juga akan berkurang," ujar dia.
Zonasi tempat tumbuhan obat ditanam memang menjadi perhatian, dan di B2P2TOOT di bagi dalam beberapa ketinggian karena lingkungan tanam obat harus benar-benar sesuai. Itu alasan kebun tanaman obat sebagai stasiun riset B2P2TOOT ada di ketinggian 1800 meter di atas permukaan laut (mdpl), 1200 mdpl, 800 mdpl, dan 180--200 mdpl.
!break!
Saintifikasi Jamu
Direktur Medik dan Keperawatan RSUD Dr. Soeradji Tirtonegoro Djoko Windoyo mengatakan bahwa salah satu kendala yang sering dihadapi untuk menggiatkan penggunaan obat herbal atau jamu selain karena tidak ditanggung Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan karena masih ada dokter yang "alergi" terhadap jamu mengingat belum semua ada bukti ilmiah.
"Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sendiri masih belum 100 persen setuju (dengan obat herbal). Langkah yang dilakukan RSUP Dr. Soeradji di Klaten, ya, mendorong integrasi obat herbal, kebanyakan dokter rawat jalan dan oertopedi yang merujukkan ke pelayanan saintifikasi jamu di Poliklinik Rosela," ujar dia.
Meski integrasi obat herbal atau jamu memang masih sulit, dia meyakini jumlahnya akan meningkat seiring dengan makin meningkatnya jumlah jamu yang tersaintifikasi.
Untuk mencari formula yang menghasilkan satu jamu yang berkhasiat di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional Tawangmangu, dokter-dokter di sana melakukan serangkaian uji ilmiah.
"Mulai dari uji praklinik yang terbagi dari uji kepemanfaatan, uji keamanan, hingga uji khasiatnya dilakukan sebelum uji klinik dilakukan," ujar dokter Danang.
Tahapan uji praklinik dikakukan ke hewan coba untuk mengetahui bagaimana formula tersebut bekerja. Jika sudah diketahui khasiatnya, baru aktivitasnya diberikan kepada manusia.
Uji klinik jamu di Tawangmangu, kata dia, melibatkan relatif banyak dokter yang sudah menjadi jejaring dari Klinik Saintifikasi Jamu Hortus Medicus. Saat ini sudah ada lebih dari 280 dokter saintifikasi jamu dari 14 angkatan. Dari jumlah itu, sebanyak 11 angkatan dokter dibiayai APBN, sedangkan tiga angkatan dibiayai pihak swasta.
Mereka yang, menurut Danang, menjadi jejaring Klinik Hortus Medicus dan dilibatkan saat misalnya klinik akan menguji formula jamu untuk hipertensi atau jamu lainnya. Jika bukti-bukti sudah terkumpul banyak, akan disimpulkan dan dilihat bukti manfaatnya baru hasilnya diberikan rekomendasi ke Komisi Saintifikasi Jamu.
"Komisi Saintifikasi Jamu itu terdiri atas pakar, budayawan, dan dosen-dosen bahkan juga ada dari luar negeri. Mereka yang akan menyidang apakah jamu tersebut lulus atau tidak uji klinis," ujar dia.
Untuk uji klinik, menurut dia, memang ada hitungan tersendiri dan sangat bergantung pada prevalensi penyakit. "Kalau hipertensi, berarti subjeknya harus lebih banyak. Maka, tiap formula berbeda jumlah sampelnya," katanya.
Selain itu, dia mengatakan bahwa pada uji klinik jamu "response outcome" pasien juga dilihat oleh para dokter. Tidak hanya dari segi kebugaran fisik, tetapi faktor emosional dan sosial pasien ikut dilihat.
"Kekhasan jamu itu bukan untuk sekadar menurunkan tensi saja. Bisa saja dia masih pusing karena tidak nyaman atau tidak nyenyak tidur. Maka, kualitas hidup dimasukkan dalam penelitian kami," ujar Danang.
Multicenter untuk uji klinis jamu juga diterapkan karena setiap wilayah subjeknya memiliki pola hidup, usia, atau berat tubuh berbeda-beda.
"Saya minum jamu hipertensi itu mungkin pengaruhnya akan berbeda dengan yang lain. Maka, perlu banyak subjek dengan wilayah cakupan lebih luas. Harapannya ini akan mengurangi bias atau error," kata Yuli.
Penulis | : | |
Editor | : | Puri |
KOMENTAR