Suatu hari di tahun 1997, Susilowati Then (66) diminta suaminya, Gustimego, membeli gudang dan tanah seluas 5.000 meter persegi.
Menurut rencana, gudang yang rusak dan hampir ambruk itu akan dirobohkan, dan di atas lahan tersebut akan dibangun deretan rumah toko alias ruko.
"Kami membeli gudang tersebut dari pemiliknya yang bermarga Panggabean. Selama itu mereka menggunakan gudang tersebut sebagai gudang yang penuh dengan drum-drum bahan kimia,” tutur Susilowati saat ditemui pada Sabtu (10/1) lalu.
Tak berapa lama setelah gudang dan lahan itu dibeli, Susilowati diberitahu petugas Suku Dinas Pariwisata Jakarta Utara yang mengatakan bahwa bangunan yang dibeli Susilowati adalah bangunan cagar budaya yang tak lain adalah Galangan Kapal VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie). Sesuai ketentuan perundangan, Susilowati tidak boleh merobohkan bangunan tersebut.
Susilowati taat. Ia pun hanya membersihkan gudang dan menambal tembok di sana-sini seadanya. Selang tak berapa lama, Wali Kota Jakarta Utara kala itu, Subagyo (1997-2002), mendesak Susilowati mengizinkan Festival Jakarta bisa digelar di galangan kapal tersebut. Menurut rencana, festival akan digelar pada Juli 1998.
Susilowati tak hanya mengizinkan festival digelar di sana, tetapi juga siap membiayai festival itu. Tidak ingin mengecewakan pengunjung acara, ia pun berniat merestorasi bangunan. ”Saya masih ingat, untuk membersihkan barang bekas, puing, dan sampah, saya membutuhkan enam truk yang mondar-mandir hampir sepekan,” kenangnya.
Ia lalu menyulap sebagian galangan kapal menjadi restoran dan galeri di lantai dua, serta kafe di lantai satu. ”Kala itu saya berpikir, momen Festival Jakarta bisa menjadi pembuka jalan memperkenalkan dan menghidupkan galangan kapal ini menjadi kawasan wisata,” tutur Susilowati.
Dengan rasa optimistis yang meluap, ibu lima anak dan 12 cucu ini pun menyiapkan 120 pekerja yang ia gaji dua bulan di muka. Namun, apa hendak dikata, Mei 1998 Jakarta dilanda amuk massa. Festival Jakarta pun urung digelar. Usaha Susilowati pun gulung tikar.
Meski demikian, Susilowati terus melanjutkan restorasi. ”Saya telanjur jatuh hati pada bangunan ini setelah enam bulan saya memilikinya,” katanya.!break!
Kantor dagang
Adolf Heuken dan Grace Pamungkas dalam bukunya, Galangan Kapal Batavia Selama Tiga Ratus Tahun (Yayasan Cipta Loka Caraka, Jakarta, 2000) menulis, bangunan milik Susilowati itu dibangun tahun 1628 sebagai kantor dagang VOC. Bangunan itu kemudian dijadikan gudang barang keperluan galangan kapal di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu.
Lama-lama, gudang ini pun menjadi galangan kapal bagi kapal-kapal kecil yang tak tertampung di Pulau Onrust.
”Perubahan lain terjadi saat galangan kapal ini terbakar tahun 1721. Sebelum terbakar lantai duanya rata, tanpa selasar. Setelah terbakar, dibangunlah selasar,” ucap arkeolog dan pengamat Kota Tua Jakarta itu.
Candrian, yang mendampingi Susilowati, menambahkan, tahun 1978 Gubernur DKI Ali Sadikin membangun saluran penghubung yang kini populer disebut sebagai Kali Pakin. Akibat pembangunan saluran itu, sebagian bangunan galangan dipangkas.
Kecintaan Susilowati pada cagar budaya lambat laun membuat ia jatuh cinta pula pada seni dan budaya yang berkembang di Jakarta pada abad ke-18. ”Saya ingin suatu hari Galangan Kapal VOC ini bisa menjadi serambi budaya bagi kesenian, tradisi, dan budaya yang berkembang di Jakarta pada abad ke-18,” tuturnya.!break!
Kurang peduli
Yang masih menjadi kegundahan Susilowati adalah sampai hari ini Pemerintah Kota Jakarta Utara ataupun Pemprov DKI masih kurang peduli terhadap semua usahanya itu.
Sejak galangan kapal menjadi miliknya dan selesai direstorasi, para petinggi DKI Jakarta datang silih berganti mengumbar janji hendak memperbaiki infrastruktur jalan dan penerangan, serta membuat rute kendaraan pariwisata. Mereka juga mengumbar janji membantu meramaikan galangan kapal dengan bermacam kegiatan, serta akan ikut melestarikan cagar budaya tersebut.
Namun, janji tinggal janji. Susilowati harus menanggung perawatan Galangan Kapal VOC miliknya sendirian.
Saat ia merasa ditinggalkan, Susilowati sempat berpikir ingin menjual bangunan bersejarah itu dan bisa beristirahat bersama anak-cucunya. ”Ya buat apa saya setiap tahun harus mengeluarkan PBB senilai Rp 110 juta dan setiap bulan membayar listrik sampai Rp 20 juta kalau kurang bermanfaat bagi publik?”
Ia mengaku tidak memiliki motif ekonomi lagi untuk menghidupkan galangan kapal miliknya. ”Saya sudah tua. Tidak lagi bermimpi banyak soal materi. Yang saya inginkan adalah keramaian budaya di sekitar galangan kapal ini,” ujarnya.
Galangan Kapal VOC tak bisa dipisahkan dengan sejumlah bangunan serta tempat cagar budaya di sekitarnya, yaitu Menara Syahbandar, Pasar Ikan Heksagon, Museum Bahari, serta Pelabuhan Sunda Kelapa.
Sayang, sampai sekarang lima cagar budaya nan-eksotis dan menyimpan banyak cerita menarik itu, kurang terhubung satu sama lain oleh infrastruktur yang layak. Sepenggal riwayat kota ini telah dilupakan....
Penulis | : | |
Editor | : | Palupi Annisa Auliani |
KOMENTAR