Orang-orang berkerumun di tengah cekungan jalan kampung. Muhammad Fauzi, pengemudi kami yang asal Mataram namun keturunan Bali, mendadak menghentikan mobil. Wajahnya tampak gamang menyaksikan jalan yang kami lalui tiba-tiba terputus. Kami dihadang banjir di Kampung Melayu. Tampaknya sudah menjadi suratan takdir bahwa nama kampung ini kerap dihubungkan dengan kawasan banjir. Tak hanya Kampung Melayu di Jakarta, tetapi juga Melayu di Bima.
“Berani tidak, Pak?” tanya saya kepada Fauzi.
Fauzi tercenung beberapa saat untuk mengumpulkan nyali. Jangan sampai dalam ekspedisi hari pertama ini kami justru harus mendorong mobil karena mogok ditelan banjir. Dia mengamati mobil yang tengah melaju menembus banjir dari arah berlawanan.
Setelah mobil itu melintas, Fauzi memandang dengan nyali penuh. Dia berkata dengan logat Balinya, “Nggih. Berani!”
Sabtu sore, 14 Februari 2015, Bima usai didera hujan deras. Mendung masih bergulung-gulung, namun kami tak sabar untuk menjelajahi sudut kota ini. Kota Bima pernah menyandang sebutan sebagai bandar pelabuhan sohor di bagian tenggara Nusantara abad ke-18 hingga awal abad ke-19. Banyak pendatang dari seberang, seperti orang-orang Bajo, Bugis, dan Melayu bermukim di kawasan Teluk Bima. Namun, erupsi mahadahsyat Gunung Tambora pada April 1815 telah meluluh-lantakkan seisi Pulau Sumbawa dan sejak saat itu pamor Bima meredup.
Kami menyusuri jalanan sepi dan berliku di tepian Teluk Bima yang dibentengi dengan kawasan perbukitan. Di sebuah tikungan di bawah bukit, kami menyaksikan pemandangan pelabuhan Bima dari seberang. Tampak Bukit Londa dengan selendang awannya menjadi latar kota pelabuhan. Kini, kami berjejak di Pantai Ule.
Warga Bima meyakini, pantai sepi yang membatasi bukit dan teluk ini merupakan bekas permukiman para mubaligh penyebar agama Islam pada abad ke-17. Konon, bukit ini pernah ramai sebagai permukiman pada masa Sultan pertama hingga ketiga, sebelum akhirnya para mubaligh tadi pindah ke kawasan pelabuhan Bima.
Setidaknya kami menjumpai dua perkampungan nelayan, repihan budaya bahari di Bima: Songgela dan Bonto. Kampung tersebut menjadi persinggahan kapal-kapal nelayan untuk mengangkut logistik dan memperbaiki perahu. Tradisi yang berlanjut di kedua tempat itu sejak berabad silam.
Orang-orang berkerumun di tengah jalan kampung. Lagi-lagi, Fauzi menghentikan mobil. Wajahnya kembali tampak gamang menyaksikan jalan yang kami lalui kembali terputus.
Mereka yang berkerumun adalah pemuda-pemuda bertato dan berwajah sangar di Kampung Kolo. Mereka memadati jembatan kampung yang aliran sungainya telah mengering. Lagaknya seperti baru saja terjadi tawuran.
Saya menghampiri dan bertanya kepada mereka tentang apa yang sedang terjadi.
“Adu Jengkiri,” kata Ega, seorang pemuda yang mengaku sebagai ketua pemuda. “Kami mengadu jengkiri setiap sore di sini.” Dia menunjukkan kandang jangkriknya yang terbuat dari bilah-bilah bambu kepada saya. Kemudian mengeluarkan jangkrik jagoannya.
Kami berkendara hingga ujung jalanan aspal. Berjejak di kebun kelapa di tepian Teluk Bima , sembari menyaksikan perahu bercadik dan kapal-kapal bagan yang bersiap menuju laut lepas. Sebuah benteng abad ke-17 pernah menandai kesibukan jalur ini. Inilah kawasan yang dijuluki warga sebagai Asa Kota, yang bermakna mulut kota Bima.
Sudut Pandang Baru Peluang Bumi, Pameran Foto dan Infografis National Geographic Indonesia di JILF 2024
Penulis | : | |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR