Mungkin ada solusinya: memendam pipa minyak di bawah dasar laut. Namun pendalaman pipa berdampak pada berhentinya operasi sumur-sumur lepas pantai bekas Arco ini. Adanya lintasan kapal-kapal kargo akan memaksa aktivitas produksi minyak dan gas bergeser. Pindah lokasi. Untuk itu, perlu membongkar dan membangun anjungan. Pembangunan satu anjungan minyak lepas pantai biayanya mencapai Rp1 triliun.
Lantaran berpindah, operasi Pertamina Hulu Energi tentu akan mati total dalam waktu yang cukup lama, sekira enam bulan. Itu berarti, di tengah-tengah defisit minyak nasional, tidak ada produksi 40.000 barel per hari dan tidak ada pasokan gas 190 mmscfd.
Saat ini kebutuhan bahan bakar minyak nasional nasional mencapai 1,3 juta barel per hari, sementara produksi minyak Indonesia hanya 827 ribu - 840 ribu barel per hari. Itu artinya, ada defisit sekitar 400 ribu - 500 ribu barel.
Di samping itu, jika blok ini ditutup, negara berpotensi kehilangan pendapatan US$1,46 miliar atau Rp17,12 triliun. Hitungan ini dengan asumsi produksi minyaknya 40.000 barel per hari dengan harga minyak dunia US$100 per barel.
Selama Pertamina Hulu Energi tidak beroperasi, PLTGU Muara Karang juga lumpuh: daerah ring satu Jakarta, termasuk Istana Negara gelap gulita. Pabrik pupuk Kujang juga berhenti berproduksi.
Mata rantai dampak pelabuhan Cilamaya rupanya bakal terus berputar. Lumpuhnya PLTG Muara Karang akan menyebabkan kehidupan sosial-ekonomi Jakarta terhenti. Pasokan pupuk Kujang ke petani yang mandek, bakal mempersulit tekad berswasembada beras selama tiga tahun. Lagipula, akses tol dari Klari sampai Tempuran akan merombak lahan sawah di Karawang seluas 30-60 hektare.
Dilema dan perdebatan ihwal pelabuhan Cilamaya telah mengaburkan fakta penting: blok Offshore North West Java telah menyediakan minyak di depan mata pada saat negeri ini kesulitan mencarinya. Ibaratnya: air di tempayan dibuang, mengharap hujan dari langit.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR