Nationalgeographic.co.id—Raqmu atau Raqēmō, mengambil peran dalam perjalanan historis Yordania. Mereka adalah penduduk yang mendiami situs bersejarah, tepatnya di benteng batu, bangunan eksotis yang megah di wilayah Petra.
Secara geografis, Petra berada di wilayah yang berbatasan dengan gunung Jabal Al-Madbah, di cekungan yang dikelilingi oleh pegunungan yang membentuk sisi timur lembah Arabah, membentang dari Laut Mati ke Teluk Aqaba.
Daerah sekitar Petra telah dihuni oleh penduduk Raqmu sejak tahun 7000 SM. "Penduduknya juga termasuk ke dalam peradaban Nabatea yang eksis sejak era purba di kawasan Yordania dan Timur Tengah," tulis Taylor.
Jane Taylor menulis dalam bukunya yang berjudul Petra and the Lost Kingdom of the Nabataeans, diterbitkan oleh I.B Tauris di London pada 2001.
"Sekitar tahun itu (7000 SM), beberapa petani purba adalah penduduk yang tercatat paling awal telah menetap di Beidha, pemukiman Neolitikum Pra-Tembikar di utara Petra" tambahnya.
Orang-orang Nabatea merupakan salah satu di antara beberapa suku Badui nomaden yang menjelajahi Gurun Arab dan berpindah bersama ternak mereka kemana pun mereka bisa, untuk menemukan padang rumput dan air.
"Bukti arkeologis, agama, dan linguistik menegaskan bahwa mereka adalah suku Arab utara," tegasnya. Bukti saat ini menunjukkan bahwa nama Nabatea untuk penduduk Petra adalah Raqēmō, dieja dalam berbagai manuskrip sebagai rqmw atau rqm.
"Mereka diperintah oleh lima raja, salah satunya adalah Raja Rekem. Ahli menyebutkan bahwa kota, yang disebut 'Petra' oleh orang Yunani, merupakan salah satu peradaban berperingkat tertinggi di tanah Arab," jelasnya.
Baca Juga: Arkeolog Temukan Sisa-Sisa Dua Kerajaan yang Terlupakan di Arab Saudi
Nama 'Rekem' (rqm) tertulis di dinding batu Wadi Musa, di seberang pintu masuk Siq. Namun, Pemerintah Yordania membangun sebuah jembatan di atas wadi, yang membuat prasasti ini terkubur di bawah berton-ton beton.
"Sebuah teori lama, menyatakan bahwa Petra mungkin diidentikkan dengan tempat yang disebut sela dalam Alkitab Ibrani," tulis Taylor. Meskipun hal itu masih menjadi teka-teki apakah Petra adalah yang dimaksudkan dalam alkitab.
Pada tahun 106 M, ketika Cornelius Palma menjadi gubernur Syria, bagian Arabia di bawah kekuasaan Petra, masuk ke dalam bagian dari Kekaisaran Romawi sebagai bagian dari Arabia Petraea. "Petra dipilih sebagai ibukotanya," terangnya.
Penduduk pribumi (Raqmu) tidak dapat berbuat banyak saat wilayahnya dikuasai oleh Romawi. "Dinasti pribumi berakhir, tetapi kota ini terus berkembang di bawah kekuasaan Romawi," pungkasnya.
Pada tahun 363, terjadi gempa bumi dahsyat yang menghancurkan banyak bangunan dan melumpuhkan sistem pengelolaan air yang vital di Petra. Kota tua Petra adalah ibu kota provinsi Bizantium Palaestina III dan banyak gereja dari periode Bizantium digali di dalam dan sekitar Petra.
"Salah satunya, Gereja Bizantium, ditemukan 140 papirus yang sebagian besar berisi kontrak-kontrak tertanggal 530-an hingga 590-an, menetapkan bahwa kota itu masih berkembang sampai abad ke-6 M," tulis Jaakko Frösén.
Ia menulis kepada The Encyclopedia of Ancient History. Artikel ilmiahnya berjudul Petra papyri yang terbit pada 2012, menjelaskan tentang sejarah panjang peradaban maju di Petra, Yordania.
Teknologi penduduk Raqmu dalam mencipta arsitektur yang eksotis, membuat Petra menjadi wilayah yang ikonik dan bersejarah di Yordania. "Petra jadi bagian warisan alam dan budaya yang membentuk lanskap arkeologis yang unik nan eksotis," tambahnya.
Baca Juga: Al Naslaa: Formasi Batu Misterius yang Terbelah Sempurna di Arab Saudi
Johann Ludwig Burckhardt atau akrab dengan Sheikh Ibrahim, telah menemukan kembali reruntuhan kota di Petra, pada tahun 1812. "Situs warisan arkeologis ini telah menarik orang yang berbeda yang berbagi minat dalam sejarah peradaban kuno dan budaya Nabataean, seperti wisatawan, peziarah, pelukis hingga sarjana," imbuhnya.
"Reruntuhan kuno Yunani dan Romawi telah dibangun dengan pengetahuan teknik dan arsitektur yang mengesankan. Petra benar-benar berbeda. Monumen ini tidak dibangun sama sekali, tetapi diukir di bebatuan. Itu merupakan pencapaian yang luar biasa!," lanjut Frösén.
Penelitian arkeologi terbaru menunjukkan bahwa mereka membuat seluruh arsitektur kuno dari atas ke bawah. "Batu-batu berukir dibentuk di bagian atas, dengan demikian akhirnya membentuk tanjakan di mana para pekerja dapat berdiri untuk sisa pekerjaan," pungkasnya.
Baca Juga: Menyingkap Kitab Astronomi Abd-al Rahman al-Sufi dari Abad ke-10
Source | : | The Encyclopedia of Ancient History |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR