Nationalgeographic.co.id—Kesenyapan laboratorium tua warisan Melchior Treub mendadak lenyap. Di bawah naungan lengkung portiknya, sejumlah lelaki berjajar di tangga teras. Seragam mereka berwarna zaitun terang berikut dengan kepangkatan militer. Sebagian bertopi bundar anyaman bambu, sebagian lagi bertopi pet atau veldmuts. Laboratorium tua itu menjumpai pemandangan masa silamnya yang hilang.
Sejenak mereka berdiri mematung. Sesi pemotretan baru saja bermula, dan sejarah tercipta.
Mereka adalah para pegiat reka ulang sejarah (reenactors) di Komunitas Bangor. Penampilan mereka mengingatkan kita pada serdadu-serdadu Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL)—Angkatan Perang Hindia Belanda. Ada yang berpangkat perwira, ada pula yang serdadu rendahan.
Begandering ini mengambil tajuk 'KNIL Vakantie' yang memanfaatkan bentang dan tengara Kebun Raya Bogor. Sufiyanto Adisoerjo, salah satu pendiri Komunitas Bangor dan desainer grafis, mengungkapkan bahwa reka ulang ini menekankan latar cerita sisi humanis dari prajurit. "Waktu pelesir—tak melulu angkat senjata," ujarnya.
Dia banyak menemukan informasi tentang serdadu KNIL yang sedang beraktivitas di luar penugasan atau kisah sisi lain kehidupan mereka sebelum jatuhnya Hindia Belanda. Sejauh ini dia menghimpun informasi dari sebuah grup reka ulang sejarah KNIL di Belanda. "Kita melakukan korespondensi, terutama terkait bahasa-bahasa militer dan referensi yang lebih detail."
Di Indonesia terdapat beberapa komunitas pereka ulang sejarah. Tampaknya, Komunitas Bangor telah menginisiasi gelaran reka ulang sejarah KNIL 1930-an yang pertama. Mereka menggunakan jargon "KNIL XII e Bataljon Batavia" sebagai penanda kegiatan reka ulang sejarah ini. "Batalyon itu ada, namun minim referensi," ujar Sufiyanto. "Batavia XII masih berupa puzzle."
Dia melanjutkan bahwa KNIL XII e Bataljon Batavia sejatinya merujuk kepada markas KNIL di Meester Cornelis—kini kompleks militer di Jatinegara. Sufiyanto mengatakan bahwa batalyon ini binasa dalam waktu singkat dalam pertempuran Banten saat menghadang kedatangan invasi Jepang. Menurut penelusurannya, Harterink sebagai komandan batalyon berhasil ditangkap oleh Jepang. Sempat kabur, namun kembali ditangkap warga dan diserahkan kembali kepada pihak Jepang. Tragisnya, Harterink dieksekusi di Birma.
Baca Juga: Pesawat Celaka, Sang Panglima KNIL dan Warga Tewas Bersama di Kemayoran
Belanda memiliki riwayat bertempur dalam memadamkan Perang Padri dan Perang Jawa yang melelahkan, bahkan berdarah-darah. Kas Hindia Belanda nyaris bangkrut. Inilah yang menjadi pemicu kebutuhan penyediaan organisasi militer yang baru dan lebih tertata di Tanah Hindia.
Jean Rocher dan Iwan Santosa dalam buku bertajuk KNIL Perang Kolonial di Nusantara dalam Catatan Prancis, mengisahkan awal mula pembentukan KNIL. Pada akhir 1830, Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch—menjabat 1830-1834—menginisiasi pembentukan Oost-Indische Leger (Tentara India Timur), sebuah organisasi militer baru di Hindia Belanda. Kemudian, Raja Willem I menambahkan julukan "Koninklijk" pada 1836. Serdadu KNIL bukan hanya berasal dari Belanda, tetapi juga negara-negara Eropa lainnya. Bahkan, KNIL juga merekrut pribumi dari penjuru Nusantara untuk bekerja demi kemuliaan Tanah Hindia.
KNIL berkiprah selama lebih dari seratus tahun. Kita mengenal KNIL sebagai serdadu yang menumpas pemberontakan orang-orang di penjuru Nusantara. Apabila polisi tidak kuasa mengatasi semua musuh bersenjata, maka KNIL akan bertugas untuk memberangusnya.
Baca Juga: Menelusuri Permulaan dan Pergeseran Makna dari Istilah Jongos
Buku Het Koninlijk Nederlands-Indisch Leger 1830-1950 yang disusun oleh H.L. Zwitzer dan C.A. Heshusius mengungkapkan riwayat pascapemulihan kekuasaan Belanda setelah pemerintahan sementara Inggris. "Pada 1816 sampai 1830 berangsur-angsur timbul keadaan bahwa tentara yang dikirim ke Hindia sebenarnya bukan lagi milik tentara Belanda," tulis mereka. Namun demikian keduanya mengungkapkan bahwa "istilah 'Indische leger' (tentara Hindia) sudah menjadi umum sekitar 1817, dan setelah organisasi terpisah didirikan pada 1830, hubungan dengan Tentara Kerajaan Belanda hampir sepenuhnya terputus."
Kedua penulis itu mengungkapkan bahwa unsur bumiputra selalu menjadi faktor penting dalam tentara kolonial yang merdeka. Awalnya rasio orang Eropa dan bumiputra adalah sekitar 1:1, kemudian menjadi 1 orang Eropa berbanding 3 orang bumiputra. Perekrutan prajurit bumiputra terjadi di seluruh pelosok Nusantara. Menurut statistik pada 1937, KNIL terdiri atas sekitar 12.700 orang Jawa, 5.100 orang Menado, 4.000 orang Ambon, 1.800 orang Sunda, 1.100 orang Timor dan penduduk dari berbagai daerah seperti Madura, Bugis, Aceh, dan Melayu.
"Prajurit bumiputra dibayar lebih rendah dari rekan Eropanya, dan sampai tahun 1908 tidak ada alas kaki yang diberikan kepadanya. Pengecualian adalah orang Ambon, yang pada awalnya juga dianggap orang Menado, Sangir, dan Talaud," demikian tulis mereka. Namun sejak awal abad ke-20, mulai dari pangkat kopral, perwira Pribumi menerima gaji yang sama dengan perwira Eropa.
Buku ini juga memuat senarai panjang tentang ekspedisi militer KNIL. Selama periode pertama, 1830 sampai 1942, mereka turut dalam berbagai operasi militer seperti Ekspedisi Montrado di Kalimantan Barat pada 1854, Ekspedisi Aceh 1873-1874, Perang Aceh 1874-1904, dan Ekspedisi Bali 1906-1908. Pada 1942, Jepang berkuasa dan Hindia Belanda tamat. Selama periode kedua, 1942-1950, KNIL kembali turut dalam Aksi Polisional atau Agresi Militer pada 1947 dan 1948, yang misi utamanya ingin meminang kembali permata Hindia yang hilang. Salah satu batalyon infanterinya yang dibentuk di Bandung pada Desember 1945 dijuluki "Andjing NICA".
Namun, KNIL juga menuai banyak kritik. J.C. Bijkerk, seorang penyintas pendudukan Jepang, mengungkapkan dalam buku hariannya. Menurutnya, tentara KNIL tidak disiapkan untuk berhadapan dengan musuh dari luar. "Tentara ini utamanya disiapkan untuk menjaga keamanan dan kedamaian Hindia sebagai kekuatan polisi," tulisnya dalam buku Vaarwel, Tot Betere Tijden yang terbit perdana pada 1973.
Setiap reka ulang sejarah tentu berkait dengan riset kostum atau alat peraga yang mendukungnya. Sejatinya, Komunitas Bangor pun masih mencari referensi warna seragam KNIL yang tepat—atau setidaknya mendekati. Warna hijau yang sesuai bisa diturunkan dari relik sergam KNIL yang dipajang di Museum Bronbeek, Arnhem, Belanda.
Baca Juga: Seluk Beluk Cerita Kehidupan Para Nyai di Zaman Hindia Belanda
"Referensi yang bener ya Garoet a-b-c," kata Sufiyanto. "Di antara serat hijau, ada nyempil benang merah sedikit orange." Lalu, dia menimpalinya, "Ini gak mungkin ada lagi wong fabrieken udah jadi mal di Garut—kalau nggak salah."
Impresi serdadu KNIL tidak sekadar pada setelan busana seragam, tetapi juga membutuhkan pernik-pernik lainnya yang kadang perlu riset. Dari topi anyaman bambu, emblem, ikat pinggang, suspender, kotak peluru, senapan laras panjang, kelewang dan sarungnya, benkap sampai sepatu. "Kita belum bisa saklek full harus sama kaya gini (komunitas pereka ulang di Belanda)," ungkapnya, "mengingat finansial dan effort tiap orang berbeda."
Okie Rishananto, pegiat Bangor yang berprofesi sebagai pekerja seni untuk pembuatan kostum dan peraga. Dalam perkara reka ulang, dia menekankan kedekatan dengan bentuk orisinalnya. Bukan kebetulan apabila dia mewarisi kepiawaian dalam jahit-menjahit dari sang ibu.
"Kalau belum perfect di mata gue, masih gue permak lagi sampai batas gue dah gak mampu," ujar Okie. "Sama kayak seragam, gue sebisa mungkin riset dan cari apapun yang mendekati aslinya—kalau bisa dapat yang sama."
Baca Juga: Selidik Rijsttafel, Sajian Bersantap Kelas Atas di Hindia Belanda
Semua berawal dari kecintaannya di dunia kostum. "Makanya gue ikut dua kegiatan yang ada hubungannya sama kostum, cosplay dan reenact," kata Okie. "Dan, gue juga suka sesuatu yang jadul."
Untuk kebutuhan reka ulang, biasanya Okie mengamati model seragam militer secara detail seperti pola jahitan dan bentuk kantong. Permasalahan timbul karena umumnya foto menampilkan bagian depan, namun jarang yang menampilkan bagian belakang. Bila memungkinkan, dia mencari relik seragam untuk referensi warna dan jenis kain, lalu mencari hal-hal yang lebih detail seperti model rajutan, bentuk kancing, dan lain-lain. Pun, kadang dia berpikir mengapa perancang busana seragam mendesainnya seperti itu. Untuk memudahkan mengingat, dia menggambar polanya dalam bentuk dua dimensi.
Salah satu kegemarannya dalam mempersiapkan busana reka ulang sejarah adalah saat berburu aksesori di pasar barang bekas. "Impresian itu juga asyiknya pas hunting barang asli, lho," ujarnya. "Apalagi [kalau] dapat harga miring."
Baca Juga: Suasana Ketika Hindia Belanda Sekarat
"Keasyikan berimpresi," kata Okie, "berkumpul dengan orang-orang yang satu visi dan bahan pembicaraan, merasakan bagaimana pelaku kehidupan yang kita impresikan hidup saat itu." Kemudian dia menambahkan, "I wish punya time machine yang bisa merasakan kondisi saat itu."
Kegiatan reka ulang tidak akan pernah menjadi bahan edukasi dan diskusi tanpa dokumentasi fotografi. Agus Sutedja, pegiat reka ulang sejarah dan fotografer profesional, mengungkapkan pengalamannya dalam setiap kegiatan reka ulang sejarah.
Ketika jeda pemotretan 'KNIL Vakantie", Agus mengungkapkan bahwa sebelum pelaksanaan reka ulang sejarah, dia selalu menyempatkan untuk riset tentang kemungkinan adegan apa saja yang sesuai dengan tema. Namun demikian, ada kalanya dia harus siap berkreasi menyusun cerita tambahan saat melihat situasi di tempat pemotretan.
Referensi adegan reka ulang bisa bertumpu pada foto-foto lama. Pada kesempatan ini Agus menyiapkan celemek dan topi koki untuk reka ulang adegan pembagian ransum makan serdadu KNIL. Sementara pegiat lain menyiapkan panci makan susun tiga (nesting) yang setipe dengan panci KNIL.
Buku Het Koninlijk Nederlands-Indisch Leger 1830-1950 menggambarkan menu harian KNIL. Dalam panci makan susun tiga itu biasanya serdadu KNIL bumiputra menerima tiga elemen makanan secara terpisah: nasi, sayuran, dan daging plus sambal. Beras menjadi makanan pokok serdadu bumiputra, yang disantap hampir setiap hari.
Menurut Agus, salah satu hal penting dalam memotret reka ulang sejarah adalah terpenuhinya unsur konsistensi atau kontinuitas di setiap adegan. "Tidak sekadar memotret, tetapi saya ingin mendapatkan rangkaian foto yang punya cerita," ujarnya. "Jadi ya memang perlu persiapan storyline."
Baca Juga: Kartu Pos Potret Kehidupan Jawa: Pesan Hindia Belanda ke Penjuru Dunia
Karya fotografi Agus yang diunggah dan dibagikan di beberapa akun media sosial menuai beragam komentar. Ada yang kagum, terharu, bahkan ada pula yang mengecam—karena KNIL dianggap sebagai pengkhianat yang memihak kolonialisme.
"Kita punya hak untuk menikmati sejarah dengan cara-cara yang sulit diterima banyak orang," kata sejarawan dan jurnalis Petrik Matanasi dalam kesempatan berbeda. "Dengan memakai seragam KNIL, barangkali orang Indonesia tidak sekedar bernostalgia tapi setidaknya jadi tahu bahwa beginilah gambaran orang yang dulu musuh Republik Indonesia."
Petrik telah menulis banyak buku tentang sejarah militer Indonesia, seperti buku bertajuk KNIL: Bom Waktu Tinggalan Belanda; Dunia Kompeni: Antara Kami, KNIL, dan Indonesia; dan Sejarah Tentara, Munculnya Bibit-bibit Militer di Indonesia Masa Hindia Belanda sampai Awal Kemerdekaan Indonesia.
Baca Juga: Hulptroepen, Satuan Lokal Hindia-Belanda dalam Perang Dipanagara
Kemudian dia mengatakan, "Jangankan di masa sekarang yang semua orang sudah pro Indonesia," imbuhnya, "di masa lalu orang yang memakai seragam KNIL banyak ditakuti, namun diam-diam orang memusuhinya."
Petrik heran mengapa orang-orang yang selalu mengidentikkan KNIL dengan pengkhianat atau pemuja kolonialisme. "Apakah orang-orang yang menuduh itu sadar bahwa tindak tanduk mereka tiap hari tanpa sadar juga berpotensi mengundang kolonialisme gaya baru masuk Indonesia?"
Reka ulang sejarah bisa menjadi sarana edukasi, demikian ungkapnya. Komunitas reka ulang sejarah seperti Bangor, menurut Petrik, setidaknya bisa membantu bangsa Indonesia untuk mengetahui bagaimana musuhnya. "Dalam perjalanan sejarah kita cuma bicara gagahnya kita sebagai bangsa tapi kita tidak pernah mau tahu terhadap bangsa kita," ujarnya. "Jadi narasi sejarah yang banyak beredar itu malah menggambarkan kalau bangsa Indonesia tidak sedang melawan Belanda tapi seperti melawan kentut karena tidak mau tahu bagaimana musuhnya."
Ada ulasan menarik tentang busana reka ulang sejarah dalam perspektif komunikasi visual yang dikaitkan dengan teori poskolonial. Andrian Dektisa Hagijanto mengungkapkan dalam surelnya kepada National Geographic Indonesia. Karakteristik serdadu KNIL digunakan untuk memenuhi kebutuhan problem 'rasa inferioritas' khas masyarakat yang mengalami sejarah penjajahan, demikian menurut hematnya.
Baca Juga: Sebuah Kado Sial di Hari Ulang Tahun Dipanagara
Lelaki ini dikenal kerap berbusana impresi militer atau pejuang 1945-1950 saat mengajar mahasiswanya di Program Studi Desain Komunikasi Visual, Universitas Kristen Petra, Surabaya. Disertasinya bertajuk Perayaan Parodi Visual Karakteristik Serdadu KNIL Andjing NICA.
Kendati penelitian Andrian menekankan pada subjek KNIL Andjing NICA, temuan-temuannya masih relevan untuk konteks KNIL masa Hindia Belanda. Dalam penelitiannya, dia memaknai bahwa untuk konteks zaman sekarang, seseorang menjadi serdadu KNIL sebagai ungkapan 'pengulangan sesuatu'. "Mereka mengulangi sesuatu yang pernah terjadi," ungkap Andrian. "Namun pengulangan itu berbeda. Mereka hanya untuk senang-senang, perayaan dan euforia kostum. Mereka bukan tentara KNIL, bukan serdadu yang bisa berperang, mereka takut darah. Pengulangan untuk tujuan lucu-lucuan itu dimaknai sebagai parodi."
Andrian menyimpulkan, berkostum dan berkarakter sebagaimana serdadu KNIL adalah berperilaku untuk menjadi sang tuan. "Namun semakin berusaha menjadi sang tuan tetaplah tidak bisa menjadi sang tuan. Karena hamba tetaplah hamba," ungkapnya. "Hamba menjadi sang tuan ketika sedang menertawakannya."
Selama pengumpulan data untuk penelitian disertasinya, Andrian menemukan tanggapan masyarakat tentang impresi serdadu KNIL. "Ada orang yang tiba-tiba bereaksi ofensif seperti menendang, memukul dan meludahi reenactor yang berpakaian KNIL."
Namun, menurut pengamatannya, kasus itu hanya terjadi di Bandung, tidak dijumpai di kota-kota lainnya. Tampaknya, secara umum masyarakat tidak terlalu peduli dengan anggapan historis tentang serdadu Belanda. "Tetap menganggap unik, asyik, dan pengin berfoto bersama," imbuh Andrian. "Bahkan kostum KNIL disukai sehingga banyak orang tertarik bikin dan gabung ke kelompok reenactor."
Pada masa perang kemerdekaan, sebagian orang Indonesia menganggap Belanda adalah musuh. Namun pada masa sekarang kostum dan peranti serdadu Belanda adalah simbol busana yang menciptakan rasa bangga. Si pemakainaya merasa tampak gagah, bois, dan memikat siapa saja yang menatap. "Cocok banget dengan iklim jaman now di mana orang-orang cenderung mencari perhatian," ungkapnya. "Setali dua uang dengan keberadaan aneka medsos yang mencitakan eforia medsos."
Baca Juga: Pengaruh Politik Revolusi Prancis yang Berkelana Hingga Hindia Belanda
Andrian memaknai fenomena ini sebagai "mencicip keperkasaan Belanda. Belanda adalah musuh sekaligus sosok yang dikagumi [...]. Kita benci sekaligus mencintai." Menurutnya, kostum seragam dan peranti serdadu Belanda merupakan representasi keperkasaan itu. "Bagi individu yang secara tidak sadar melestarikan inferioritas akibat kolonial, hal itu dipakai kembali."
Penelitiannya membuka wawasan kita bahwa keilmuan desain itu bukan melulu tentang penciptaan visual dan elaborasi aneka aplikasi media untuk karya visual, tetapi keilmuan desain juga menganalisis visualitas.
Belakangan, komunitas sejarah di berbagai kota mulai mengampanyekan edukasi sejarah yang asyik melalui adegan reka ulang. Andrian dan kawan-kawan pegiat reka ulang turut mendukung pembelajaran sejarah dengan pendekatan populer ini. "Namun belum ada penelitian tentang efektivitas aktivitas itu terkait dengan daya tarik untuk pembelajaran maupun membentuk sikap retrospektif masyarakat pada sosok serdadu Belanda," ungkapnya.
Komunitas Bangor merupakan forum cair bagi semua pemerhati dan pegiat reka ulang sejarah sejak 2016. Para penggagasnya—Sufiyanto Adisoerjo, Yosef Errol Tornado, dan Dionisius Cahyo—dengan sadar tidak membuat struktur organisasi dan tidak membatasi domisili simpatisannya. Selama ini aktivitas dan diskusi mereka melalui WA Group dan akun Instagram @reenactorbangor. "Bangor cuma berbentuk pos ronda jadi semua bisa ikut nongkrong tidak ada struktur-strukturan," ungkap Sufiyanto. Kendati aktivitas reka ulang sejarah sempat terhenti selama pandemi, namun menurutnya "setiap ide yang diwacanakan selalu diupayakan untuk dieksekusi."
"Bangor itu semacam nyentil aja," kata Sufiyanto. "Belajar sejarah itu bisa dilakukan dengan cara yang asyik dan berbeda." Dia menambahkan bahwa kata 'bangor' memiliki makna 'bandel'. Sejak kelahirannya, jiwa komunitas ini "bandel tahan banting dengan segala daya upaya mengedukasi dan konservasi sejarah dengan cara yang tidak konvensional," imbuhnya.
Masa lalu tidak bisa diputar ulang, tetapi sejarah bisa berulang dan direka ulang supaya kita memahami moral ceritanya. Selalu ada tunas-tunas harapan pada setiap kegiatan reka ulang sejarah. "Silaturahmi yang paling penting, sebagaimana hobi yang lain ada faktor fun yang jadi ekspektasi," ujar Sufiyanto. "Ya karena di ranah sejarah jadinya bisa merawat ingatan sejarah agar bisa dilihat dari dua sisi, sehingga tidak menghakimi—terutama sejarah linimasa juang Indonesia."
Baca Juga: Pax Nederlandica: Kuasa Politik Apartheid Zaman Hindia Belanda
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR