Karya fotografi Agus yang diunggah dan dibagikan di beberapa akun media sosial menuai beragam komentar. Ada yang kagum, terharu, bahkan ada pula yang mengecam—karena KNIL dianggap sebagai pengkhianat yang memihak kolonialisme.
"Kita punya hak untuk menikmati sejarah dengan cara-cara yang sulit diterima banyak orang," kata sejarawan dan jurnalis Petrik Matanasi dalam kesempatan berbeda. "Dengan memakai seragam KNIL, barangkali orang Indonesia tidak sekedar bernostalgia tapi setidaknya jadi tahu bahwa beginilah gambaran orang yang dulu musuh Republik Indonesia."
Petrik telah menulis banyak buku tentang sejarah militer Indonesia, seperti buku bertajuk KNIL: Bom Waktu Tinggalan Belanda; Dunia Kompeni: Antara Kami, KNIL, dan Indonesia; dan Sejarah Tentara, Munculnya Bibit-bibit Militer di Indonesia Masa Hindia Belanda sampai Awal Kemerdekaan Indonesia.
Baca Juga: Hulptroepen, Satuan Lokal Hindia-Belanda dalam Perang Dipanagara
Kemudian dia mengatakan, "Jangankan di masa sekarang yang semua orang sudah pro Indonesia," imbuhnya, "di masa lalu orang yang memakai seragam KNIL banyak ditakuti, namun diam-diam orang memusuhinya."
Petrik heran mengapa orang-orang yang selalu mengidentikkan KNIL dengan pengkhianat atau pemuja kolonialisme. "Apakah orang-orang yang menuduh itu sadar bahwa tindak tanduk mereka tiap hari tanpa sadar juga berpotensi mengundang kolonialisme gaya baru masuk Indonesia?"
Reka ulang sejarah bisa menjadi sarana edukasi, demikian ungkapnya. Komunitas reka ulang sejarah seperti Bangor, menurut Petrik, setidaknya bisa membantu bangsa Indonesia untuk mengetahui bagaimana musuhnya. "Dalam perjalanan sejarah kita cuma bicara gagahnya kita sebagai bangsa tapi kita tidak pernah mau tahu terhadap bangsa kita," ujarnya. "Jadi narasi sejarah yang banyak beredar itu malah menggambarkan kalau bangsa Indonesia tidak sedang melawan Belanda tapi seperti melawan kentut karena tidak mau tahu bagaimana musuhnya."
Ada ulasan menarik tentang busana reka ulang sejarah dalam perspektif komunikasi visual yang dikaitkan dengan teori poskolonial. Andrian Dektisa Hagijanto mengungkapkan dalam surelnya kepada National Geographic Indonesia. Karakteristik serdadu KNIL digunakan untuk memenuhi kebutuhan problem 'rasa inferioritas' khas masyarakat yang mengalami sejarah penjajahan, demikian menurut hematnya.
Baca Juga: Sebuah Kado Sial di Hari Ulang Tahun Dipanagara
Lelaki ini dikenal kerap berbusana impresi militer atau pejuang 1945-1950 saat mengajar mahasiswanya di Program Studi Desain Komunikasi Visual, Universitas Kristen Petra, Surabaya. Disertasinya bertajuk Perayaan Parodi Visual Karakteristik Serdadu KNIL Andjing NICA.
Kendati penelitian Andrian menekankan pada subjek KNIL Andjing NICA, temuan-temuannya masih relevan untuk konteks KNIL masa Hindia Belanda. Dalam penelitiannya, dia memaknai bahwa untuk konteks zaman sekarang, seseorang menjadi serdadu KNIL sebagai ungkapan 'pengulangan sesuatu'. "Mereka mengulangi sesuatu yang pernah terjadi," ungkap Andrian. "Namun pengulangan itu berbeda. Mereka hanya untuk senang-senang, perayaan dan euforia kostum. Mereka bukan tentara KNIL, bukan serdadu yang bisa berperang, mereka takut darah. Pengulangan untuk tujuan lucu-lucuan itu dimaknai sebagai parodi."
Andrian menyimpulkan, berkostum dan berkarakter sebagaimana serdadu KNIL adalah berperilaku untuk menjadi sang tuan. "Namun semakin berusaha menjadi sang tuan tetaplah tidak bisa menjadi sang tuan. Karena hamba tetaplah hamba," ungkapnya. "Hamba menjadi sang tuan ketika sedang menertawakannya."
Selama pengumpulan data untuk penelitian disertasinya, Andrian menemukan tanggapan masyarakat tentang impresi serdadu KNIL. "Ada orang yang tiba-tiba bereaksi ofensif seperti menendang, memukul dan meludahi reenactor yang berpakaian KNIL."
Namun, menurut pengamatannya, kasus itu hanya terjadi di Bandung, tidak dijumpai di kota-kota lainnya. Tampaknya, secara umum masyarakat tidak terlalu peduli dengan anggapan historis tentang serdadu Belanda. "Tetap menganggap unik, asyik, dan pengin berfoto bersama," imbuh Andrian. "Bahkan kostum KNIL disukai sehingga banyak orang tertarik bikin dan gabung ke kelompok reenactor."
Pada masa perang kemerdekaan, sebagian orang Indonesia menganggap Belanda adalah musuh. Namun pada masa sekarang kostum dan peranti serdadu Belanda adalah simbol busana yang menciptakan rasa bangga. Si pemakainaya merasa tampak gagah, bois, dan memikat siapa saja yang menatap. "Cocok banget dengan iklim jaman now di mana orang-orang cenderung mencari perhatian," ungkapnya. "Setali dua uang dengan keberadaan aneka medsos yang mencitakan eforia medsos."
Baca Juga: Pengaruh Politik Revolusi Prancis yang Berkelana Hingga Hindia Belanda
Andrian memaknai fenomena ini sebagai "mencicip keperkasaan Belanda. Belanda adalah musuh sekaligus sosok yang dikagumi [...]. Kita benci sekaligus mencintai." Menurutnya, kostum seragam dan peranti serdadu Belanda merupakan representasi keperkasaan itu. "Bagi individu yang secara tidak sadar melestarikan inferioritas akibat kolonial, hal itu dipakai kembali."
Penelitiannya membuka wawasan kita bahwa keilmuan desain itu bukan melulu tentang penciptaan visual dan elaborasi aneka aplikasi media untuk karya visual, tetapi keilmuan desain juga menganalisis visualitas.
Belakangan, komunitas sejarah di berbagai kota mulai mengampanyekan edukasi sejarah yang asyik melalui adegan reka ulang. Andrian dan kawan-kawan pegiat reka ulang turut mendukung pembelajaran sejarah dengan pendekatan populer ini. "Namun belum ada penelitian tentang efektivitas aktivitas itu terkait dengan daya tarik untuk pembelajaran maupun membentuk sikap retrospektif masyarakat pada sosok serdadu Belanda," ungkapnya.
Komunitas Bangor merupakan forum cair bagi semua pemerhati dan pegiat reka ulang sejarah sejak 2016. Para penggagasnya—Sufiyanto Adisoerjo, Yosef Errol Tornado, dan Dionisius Cahyo—dengan sadar tidak membuat struktur organisasi dan tidak membatasi domisili simpatisannya. Selama ini aktivitas dan diskusi mereka melalui WA Group dan akun Instagram @reenactorbangor. "Bangor cuma berbentuk pos ronda jadi semua bisa ikut nongkrong tidak ada struktur-strukturan," ungkap Sufiyanto. Kendati aktivitas reka ulang sejarah sempat terhenti selama pandemi, namun menurutnya "setiap ide yang diwacanakan selalu diupayakan untuk dieksekusi."
"Bangor itu semacam nyentil aja," kata Sufiyanto. "Belajar sejarah itu bisa dilakukan dengan cara yang asyik dan berbeda." Dia menambahkan bahwa kata 'bangor' memiliki makna 'bandel'. Sejak kelahirannya, jiwa komunitas ini "bandel tahan banting dengan segala daya upaya mengedukasi dan konservasi sejarah dengan cara yang tidak konvensional," imbuhnya.
Masa lalu tidak bisa diputar ulang, tetapi sejarah bisa berulang dan direka ulang supaya kita memahami moral ceritanya. Selalu ada tunas-tunas harapan pada setiap kegiatan reka ulang sejarah. "Silaturahmi yang paling penting, sebagaimana hobi yang lain ada faktor fun yang jadi ekspektasi," ujar Sufiyanto. "Ya karena di ranah sejarah jadinya bisa merawat ingatan sejarah agar bisa dilihat dari dua sisi, sehingga tidak menghakimi—terutama sejarah linimasa juang Indonesia."
Baca Juga: Pax Nederlandica: Kuasa Politik Apartheid Zaman Hindia Belanda
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR