Pengamatan "bulan berdarah" pada Sabtu (4/4) di Jakarta boleh gagal karena mendung. Namun di Pasuruan, Jawa Timur, langit yang cerah memungkinkan pengamat mengobservasi seluruh fase gerhana yang bisa dilihat dari Indonesia barat.
Astronom amatir Muhammad Soleh adalah salah satu yang berhasil mengamati fase gerhana mulai saat awal bulan memasuki bayang-bayang inti bumi hingga saat bulan berubah wajah dari "berdarah" menjadi terang.
Soleh menyusun time-lapse peristiwa gerhana semalam. Dalam time-lapse yang disusunnya, tampak sebagian permukaan bulan berubah wajah menjadi merah darah pukul 18.30 WIB. Saat itu bulan mengalami fase gerhana sebagian.
Kemudian bulan memasuki puncak gerhana. Seluruh permukaan bulan tampak merah akibat cahaya matahari yang seharusnya diterimanya terhalang oleh bumi. Kondisi puncak gerhana tercermin dalam foto yang diambil pukul 19.05 WIB.
Dalam foto yang diambil pukul 19.15 WIB, bulan tampak mulai meninggalkan bayang-bayang inti Bumi. Ada bagian bulan yang kembali terang. Pada pukul 19.45, separuh bagian bulan sudah terang kembali.
Foto pada pukul 21.05 menunjukkan, semua permukaan bulan telah terang kembali. Itu tanda bahwa satu-satunya gerhana bulan yang bisa dilihat dari Indonesia tahun 2015 telah usai.
Gerhana bulan kali ini merupakan gerhana bulan terpendek pada abad 21 dan terpendek ketiga dalam 1 milenium terakhir. Puncak gerhananya berlangsung sangat singkat, hanya 4 menit 43 detik.
Keberhasilan pengamatan fenomena astronomi sangat bergantung pada kondisi cuaca. Dengan demikian, mengamati gerhana secara lengkap adalah sebuah keberuntungan, apalagi gerhana langka seperti semalam yang baru akan terjadi 140 tahun lagi.
Setelah fenomena gerhana langka ini, ada fenomena astronomi spektakuler lain yang bakal bisa dilihat dari Indonesia, yaitu gerhana matahari total pada 9 Maret 2016. Indonesia, spesifiknya Palu, akan menjadi lokasi terbaik di dunia untuk mengamatinya.
Penulis | : | |
Editor | : | Aris |
KOMENTAR