Kerusuhan 12 Mei 1998 dengan korban lebih dari 1.000 orang meninggalkan pengalaman menyedihkan bagi banyak orang, sebagian besar di antaranya warga Tionghoa.
Hari-hari kelam bagi Lim (bukan nama sebenarnya), seorang pedagang elektronik di Jakarta, yang tokonya ikut dijarah.
"Sangat berat," ceritanya kepada BBC beberapa waktu lalu. "Tahun 1963 rumah Ibu saya juga dibakar waktu kerusuhan anti-Cina di Jawa Barat. Tahun 1998, saya merasakan sendiri."
Saat itu, kerusuhan dan aksi pembakaran terjadi di Medan, Jakarta, Solo, Lampung, Palembang dan Surabaya.
Tim Relawan Untuk Kemanusiaan (TRK) menyatakan lebih dari 1.000 orang meninggal dunia dan ratusan lainnya menjadi korban perkosaan.
Di Depok, pada rentang waktu yang sama, Aminah-ali Salmin tak berhenti menangis. "Suami saya tidak pulang tiga hari. Dia bekerja di toko elektronik di Glodok, bersama dua temannya asal Ambon."
"Waktu itu saya baru punya bayi. Saya menangis setiap hari, takut, dia tidak ada kabar, tidak ada telepon," katanya kepada BBC.
Untung suami Aminah selamat, namun peristiwa itu hingga kini masih jelas dibenaknya.
"Ketika pulang, suami saya sudah tak seperti manusia. Wajahnya hitam, kakinya terkena peluru karet, dan terkena sabetan warga yang menjarah. Setelah itu dia kehilangan pekerjaan. Semua-semuanya jadi sulit."
Indonesia harusnya cinta damai
"Saya pikir untuk apa anarkis? Tionghoa atau orang manapun, Indonesia harusnya cinta damai."
Di Facebook BBC Indonesia, sejumlah pengguna membagi pengalaman mereka dalam peristiwa tersebut.
Subki Usma, seorang warga Jakarta, mengenang kejadian itu sebagai "Masa di mana kami tak henti-hentinya bersembunyi dan menangis ketakutan sembari berdoa agar kami tidak mati di ujung senjata."
Juga masih jelas diingatan Rudy Minor, saat jalan Gajah Mada - Hayam Wuruk dipenuhi dengan jejak panzer, selongsong peluru karet berantakan di jalan, banyak tulisan cat di tembok-tembok toko-toko "Milik Pribumi", "Milik Haji...."
"Di situ saya baru sadar sebegitu bencinya orang pribumi sama Cina," kata Rudy yang kini memilih tinggal di Kanada.
"Sakit dan perih rasanya menerima kenyataan bahwa orang-orang di sekitar saya mau membunuh saya karena mata saya sipit. Padahal lahir besar di Indonesia, makan nasi juga, bahasa mandarin tidak bisa, darah sama-sama merah."
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR