Nationalgeographic.co.id—September 1996, seluruh Eropa, kecuali Belarusia dan Rusia saat itu, telah sepenuhnya menghapus hukuman mati. Di Belanda, hukuman mati sudah dihapus sejak 1870. Hukuman itu diganti dengan RUU hukuman penjara seumur hidup yang disahkan pada 1878.
Hanya sedikit yang diketahui orang yang dijatuhi hukuman yang dianggap tidak beradab ini, salah satunya Ans van Dijk yang mengkhianati rombongan persembunyian orang Yahudi selama Perang Dunia II ke Nazi Jerman. Setelah perang usai, dia dihukum dengan regu tembak pada 1948 di Fort Bijlmer, Amsterdam.
Meski demikian, hukuman yang mereka anggap tidak beradab ini masih berjalan di tanah jajahannya: Hindia Belanda. Misal, pada tahun yang sama di bulan Agustus ada hukuman mati di alun-alun Bekasi terhadap Delapan Jagal dari Tambun. Eksekusi itu ditonton oleh banyak warga setempat.
Halaman berikutnya...
Mereka adalah anggota yang terlibat dalam pemberontakan petani Tambun pada 1869 yang masih tersisa. Tetapi kabar eksekusi ini hanya sedikit diberitakan oleh media masa itu, seperti koran Batavia bernama Bintang Barat.
Klaas Stutje, sejarawan dari Rijksmuseum Amsterdam dalam diskusi di jurnal International Review of Social History (2019), mengatakan pemerintah Hindia Belanda telah lama menggunakan Pulau Nusakambangan sebagai tempat eksekusi hukuman mati. Tujuannya, demi mengubah lingkungan kolonial yang lebih baik, dengan tambahan citra seram yang digambarkan jurnalis dan penulis dari berbagai persuasi politik.
Sementara peneliti hukum Utrecht University Christien Bruinink-Darlang, dalam disertasi Hervormingen in de koloniale periode. Verbeteringen in het Nederlands-Indisch strafstelsel in de periode 1905-1940, menulis alasan Belanda membiarkan tanah koloninya masih menerapkan hukum tersebut lantaran alasan keamanan. Selain itu, orang yang hidup di tanah jajahan masih dianggap belum pantas untuk penghapusan.
Baca Juga: Pedofilia Semasa Hindia Belanda yang Sering Disamakan Homoseksual
Sejak 1907, eksekusi hukuman mati, baik digantung atau ditembak, tidak lagi dilakukan di depan umum seperti yang terjadi pada Delapan Jagal Tambun. Meski secara hukum orang Eropa bisa mendapatkan hukuman mati, tetapi dalam praktik sering dijatuhkan kepada pribumi.
Pada 1917, sebuah komite bernama Centraal Comité tot voorkoming van de handhaving der doodstraf in het nieuwe wetboek van Strafrecht voor Nederland-Indië en tot verbetering van het Indische Strafstelse, mengajukan petisi kepada Ratu Belanda untuk menghapus hukuman mati di Hindia.
Mereka, dalam buku Bruinink-Darlang, menemukan ketidakadilan lainnya yakni, orang yang tidak bersalah bisa mendapatkan hukuman gantung karena masalah bahasa dan "saksi pribumi yang tidak dapat diandalkan." Seolah, masyarakat asli Hindia Belanda dipandang tidak beradab dalam perkara hukum.
Baca Juga: Ernest Douwes Dekker, Belanda-Jawa yang Meresahkan Hindia Belanda
Snouck Hurgronje saat itu juga setuju untuk menentang hukuman mati lantaran tidak menakutkan bagi pribumi, terutama yang berkeyakinan Islam. Tetapi Menteri Koloni Th. B. Pleijte mempertahankan kalau hukuman mati tetap ada jika terjadi pemberontakan.
Apa yang dipandang Pleijte terbukti pada 1927 setelah terjadi pemberontakan komunis di beberapa lokasi. Sejumlah 27 orang yang terbukti terlibat pun dihukum mati.
Kejadian itu membuat Partai Sosialis Demokrat Hindia (ISDP) di rapat Volksraad menentang keras sistem peradilan pidana Hindia Belanda. Sebab secara teknis, hampir sama dengan argumen komite yang namanya panjang itu, ada unsur ketidakadilan dalam sumber bahasa, kesaksian polisi, kebencian rasial dan kelas. Tokoh komunis dan Partai Sosial Demokrat (SDAP) di Belanda juga mendukung ISDP. Tetapi tetap saja ajuan itu tidak dihiraukan.
Dalam tinjauan Cees Fasseur terkait buku yang ditulis Bruinink-Darlang, hukuman mati bagi non-pemberontak masih banyak diterapkan tetapi beberapa bisa diampuni atau mendapat grasi dengan perubahan hukuman berat yang dianggap setimpal. Meski demikian, praktiknya juga tidak adil karena orang Eropa mendapatkan hukuman berat berupa penjara atau dibuang. Sementara pribumi harus menjadi pekerja paksa.
Baca Juga: Seluk Beluk Cerita Kehidupan Para Nyai di Zaman Hindia Belanda
Menjadi pekerja paksa seperti menjadi buruh di tambang batu bara di Ombilin, Sawahlunto, dianggap sangat setimpal dan cocok untuk fisik maupun watak pribumi, yang tentu saja ini adalah buah pandangan rasial pada masanya. Fasseur sendiri sejarawan dari Leiden University yang lahir dan menghabiskan waktu kecilnya di Balikpapan.
"Kerja paksa di tambang batu bara Ombilin di Sumatra hampir sama membunuhnya, di mana disiplin ditegakkan dengan cambuk, hukuman rotan, dan metode keras lainnya," terang Fasseur.
"Namun ada juga bentuk kerja penjara yang lebih manusiawi, di mana para tahanan (jangka pendek diizinkan untuk menghabiskan waktu di luar jam kerja mereka dengan bebas di luar penjara."
Fasseu merlanjutkan, Hindia Belanda bisa menjadi contoh negara polisi yang cocok untuk membungkam demokrasi, meski negeri Belanda saat itu jauh lebih bebas. Hukuman mati dinilai menjadi cara "penundukan rezim pegawai negeri otokratis yang menawarkan sedikit ruang untuk 'merongrong' pendapat lawan politik".
Hingga menjelang berakhirnya koloni Belanda di Indonesia yang merdeka atau sedang masuk dalam kancah Perang Dunia II, hukuman mati tak juga dihapuskan oleh pemerintah.
Hukuman mati per kasus bisa dibatalkan, seperti kata Gubernur Jenderal seperti Dirk Fock yang menjabat 1921-1926. Tapi lagi-lagi, setelah seorang Gubernur Jenderal turun jabatan, welas-asih bisa saja berbeda tergantung pandangan politik dari siapa yang akan menjabat.
Baca Juga: Awal Mula Pemberontakan Buruh Tambang Batu Bara Sawahlunto 1927
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR