Snouck Hurgronje saat itu juga setuju untuk menentang hukuman mati lantaran tidak menakutkan bagi pribumi, terutama yang berkeyakinan Islam. Tetapi Menteri Koloni Th. B. Pleijte mempertahankan kalau hukuman mati tetap ada jika terjadi pemberontakan.
Apa yang dipandang Pleijte terbukti pada 1927 setelah terjadi pemberontakan komunis di beberapa lokasi. Sejumlah 27 orang yang terbukti terlibat pun dihukum mati.
Kejadian itu membuat Partai Sosialis Demokrat Hindia (ISDP) di rapat Volksraad menentang keras sistem peradilan pidana Hindia Belanda. Sebab secara teknis, hampir sama dengan argumen komite yang namanya panjang itu, ada unsur ketidakadilan dalam sumber bahasa, kesaksian polisi, kebencian rasial dan kelas. Tokoh komunis dan Partai Sosial Demokrat (SDAP) di Belanda juga mendukung ISDP. Tetapi tetap saja ajuan itu tidak dihiraukan.
Dalam tinjauan Cees Fasseur terkait buku yang ditulis Bruinink-Darlang, hukuman mati bagi non-pemberontak masih banyak diterapkan tetapi beberapa bisa diampuni atau mendapat grasi dengan perubahan hukuman berat yang dianggap setimpal. Meski demikian, praktiknya juga tidak adil karena orang Eropa mendapatkan hukuman berat berupa penjara atau dibuang. Sementara pribumi harus menjadi pekerja paksa.
Baca Juga: Seluk Beluk Cerita Kehidupan Para Nyai di Zaman Hindia Belanda
Menjadi pekerja paksa seperti menjadi buruh di tambang batu bara di Ombilin, Sawahlunto, dianggap sangat setimpal dan cocok untuk fisik maupun watak pribumi, yang tentu saja ini adalah buah pandangan rasial pada masanya. Fasseur sendiri sejarawan dari Leiden University yang lahir dan menghabiskan waktu kecilnya di Balikpapan.
"Kerja paksa di tambang batu bara Ombilin di Sumatra hampir sama membunuhnya, di mana disiplin ditegakkan dengan cambuk, hukuman rotan, dan metode keras lainnya," terang Fasseur.
"Namun ada juga bentuk kerja penjara yang lebih manusiawi, di mana para tahanan (jangka pendek diizinkan untuk menghabiskan waktu di luar jam kerja mereka dengan bebas di luar penjara."
Fasseu merlanjutkan, Hindia Belanda bisa menjadi contoh negara polisi yang cocok untuk membungkam demokrasi, meski negeri Belanda saat itu jauh lebih bebas. Hukuman mati dinilai menjadi cara "penundukan rezim pegawai negeri otokratis yang menawarkan sedikit ruang untuk 'merongrong' pendapat lawan politik".
Hingga menjelang berakhirnya koloni Belanda di Indonesia yang merdeka atau sedang masuk dalam kancah Perang Dunia II, hukuman mati tak juga dihapuskan oleh pemerintah.
Hukuman mati per kasus bisa dibatalkan, seperti kata Gubernur Jenderal seperti Dirk Fock yang menjabat 1921-1926. Tapi lagi-lagi, setelah seorang Gubernur Jenderal turun jabatan, welas-asih bisa saja berbeda tergantung pandangan politik dari siapa yang akan menjabat.
Baca Juga: Awal Mula Pemberontakan Buruh Tambang Batu Bara Sawahlunto 1927
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR