Di Ulul Kaut, sebuah dermaga kecil di Pulau Siumat Kabuaten Simeulue, Aceh, saya mengukuti anak-anak yang bermain riang. Mereka berenang tanpa rasa takut. Kadang salto dari papan pelabuhan mereka lakukan hanya untuk sekedar bersenang-senang. Pulau ini telah menjadi surga kecil buat para pengelana penyendiri.
Terbang jauh dari Medan hanya butuh waktu 45 menit ke Bandara Lasikin di Simeulue. Pesawat kecil yang saya tumpangi hanya dipenuhi oleh 4 penumpang lain selain saya. Di kokpit, dua orang pilot, salah satunya berkewarga negaraan Jepang, sibuk dengan panel-panel dan beragam tombol. Suasananya memang sepi karena bukan musim liburan. Apa lagi penerbangan ke Simeulu terbatas hanya tiga kali seminggu, itupun hanya digunakan untuk kepentingan-kepentingan mendesak. Jika tidak, orang lebih memilih jalur darat, lalu menyeberang dari Labuhan Haji di Aceh Selatan menuju Sinabang di Simeulue.
Mengingat aksesnya yang sulit, pulau Simeulue memang menjadi surga bagi petualang yang rindu kesunyian. Tapi jangan coba-coba datang ke sana dengan cara blusukan, itu tak akan mempan. Saya sudah menghubungi Ogek, kenalan saya di Simeulu dua minggu sebelumnya. Ogek menyiapkan penjemputan ke bandara dan penyeberangan ke pulau kecil, Siumat.
Saya dan Ogek menggunakan sampan nelayan kecil dengan cadik di kedua sisinya. Mesin 9 PK yang kami gunakan mengantar ke Pulau Siumat selama 4 jam, waktu yang sungguh lama ketimbang menggunakan perahu besar dengan mesin yang juga lebih besar.
Kami baru saja sandar di Ulul Kaut ketika matahari pagi mulai tampak. Nelayan pancing sudah sejak subuh tadi melaut, meninggalkan anak-anak mereka yang asik berjungkir balik di pelabuhan itu.
Arisman, kelas 1 SMP memandu adik-adiknya bercengkrama dengan air laut yang jernih. Pantulan sinar matahari membakar tubuh mereka sejak bayi. Mandi pagi di ulul kaut merupakan rutinitas mereka sebelum menyiapkan diri berangkat sekolah.
"Kami biasa mandi di sini. Setelah itu, baru bilas dan pakai baju di rumah," katanya.
Sampan-sampan kecil lainnya mulai merapat. Mereka adalah para pemetik cengkeh. Tapi saya masih asik dengan keceriaan pagi Arisman dan adik-adik sekampungnya. Dia menaiki sampan lebih kecil tanpa lengan cadik. Sampan itu seolah tenggelam oleh riak laut. Sebentar kemudian, sampan itu sudah muncul lagi ke permukaan.
Puas bermain, anak-anak bergegas membilas tubuh mereka di pemandiam umum yang berada dekat pelabuhan kecil itu. "Mandi tak perlu pakai sabun. Sabun mahal," kata Arisman singkat.
Sebuah sampan kecil tampak di tengah. Dari cara melajunya, sampan itu persis menuju ulul Kaut. Bang Edi, mendayung dengan santai. Saya dan Ogek menunggu kedatangan pria ini. Rumahnya sudah disediakan untuk tempat kami bermalam.
Dia membawa dua ekor geurape pandak, ikan kerapu bewarna merah dengan bintik-bintik biru berukuran lumayan besar. "Cukup buat bekal sampai malam nanti," katanya tersenyum saat kami membantu menyandarkan sampannya.
Kami makan sambam siang itu. Istri Bang Edi telah membungkus ikan kerapu pancingannya dengan daun pisang, lalu membakarnya. Istrinya juga menyiapkan ulekan sambal terasi yang pedas, ditambah dengan urap pucuk pepaya yang tak lagi pahit. Betul-betul makanan yang ampuh mengurai keringat kami.
Sementara Bang Edi dan istrinya berbenah dan menyiapkan makan, saya membantu Arisman menjemur cengkeh. Dia telah mengeluarkan tiga karung cengkeh yang mulai kering sehabis mandi pagi tadi. Matahari pagi menghangatkan daratan kecil di timur laut Pulau Simeulue itu. Saya berjanji padanya untuk ikut mengangkat jemuran sore nanti.
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR