“A small step for man, but a giant leap for mankind.” Itulah ucapan astronot Neil Amstrong ketika menjejakkan kaki untuk pertama kalinya di permukaan Bulan pada 21 Juli (WIB) 1969. Amstrong bersama rekannya, Edwin Aldrin, menjadi manusia pertama yang mengembara ke satelit Bumi yang berjarak 385.000 kilometer ini dengan program Apollo.
Program yang semangatnya dicanangkan Presiden John F Kennedy pada tahun 1961 ini sebenarnya merupakan produk sampingan Perang Dingin Timur-Barat yang marak saat itu, dan salah satu sisinya mewujud dalam “lomba angkasa” (space race).
Mengapa begitu? Ini karena Uni Soviet menjadi negara pertama di dunia yang berhasil meluncurkan satelit (buatan) ke ruang angkasa, yakni Sputnik, tahun 1957. Uni Soviet pula yang menjadi negara pertama di dunia yang berhasil mengorbitkan antariksawan pertama, yakni Yuri Gagarin, pada 1961.
Menanggapi kemajuan itu, bangsa Amerika patut merasa cemas. Dengan keberhasilan meluncurkan satelit dan mengorbitkan kosmonot, berarti Uni Soviet telah unggul tidak saja di bidang antariksa, tetapi juga di bidang teknologi peroketan. Padahal, kita tahu, roket adalah teknologi bersifat ganda, bisa untuk keperluan sipil, tetapi juga bisa untuk keperluan militer, yakni untuk meluncurkan peluru kendali (nuklir). Hal ini menyiratkan, Uni Soviet juga memiliki kemampuan peluncuran rudal strategis jarak jauh (antar-benua).
Hal ini direspons Presiden Kennedy yang dalam pidato pelantikannya mencanangkan sebelum dekade 1960-an berakhir, AS harus berhasil mendaratkan antariksawannya di Bulan. Tidak sedikit orang yang saat itu menyangsikan tekad Kennedy (What Everyone Should Know About the 20th Century).
Meski sempat ditandai dengan pukulan berat (setback) berupa kecelakaan di landas luncur yang menewaskan tiga astronotnya tahun 1967, berita utama Kompas (17 Juli 1969) menegaskan, AS telah mendekati kulminasi program ambisius yang dicanangkan Presiden Kennedy. Berita utama Kompas ini mengabarkan saat mendebarkan ketika Apollo 11 diluncurkan pada 16 Juli 1969.
Antara lain dituturkan betapa roket Saturnus V yang beratnya 3.000 ton dan membawa tiga astronot dinyalakan, pasti dengan suara yang amat gemuruh dan menggelegar, dan berikutnya memacu mereka ke Bulan hingga pendaratan yang bersejarah empat hari kemudian.
Setelah pendaratan Armstrong dan Aldrin, badan ruang angkasa AS, NASA, masih mengirim enam lagi misi ke Bulan, hingga yang terakhir, yakni Apollo 17 pada Desember 1972. Selanjutnya, AS meluncurkan Proyek Skylab pada tahun 1973. Ada juga program Apollo-Soyuz yang melambangkan detente atau peredaan ketegangan Timur-Barat pada tahun 1975, hingga akhirnya AS tercerap dalam program pesawat ulang alik (space shuttlei).
Melalui program pesawat ulang alik inilah AS bisa membuktikan keberhasilan teknologi roket yang bisa digunakan lagi (reusable), tidak sebagaimana Saturnus yang hanya bisa sekali pakai (expendable).
Harus diakui, tekad bangsa Amerika untuk menaklukkan ruang angkasa amat luar biasa. Ini diperlihatkan bahwa meski ada musibah meledaknya pesawat ulang alik Challenger pada 1986, dan juga Columbia pada 2003, AS tak menyerah begitu saja. AS berusaha untuk menemukan kesalahan dan melanjutkan program ulang alik meskipun akhirnya program ini dihentikan juga pada STS-135 tahun 2011.
Kita yakin, tekad AS untuk menguasai teknologi antariksa didasari oleh kepentingan survival, dan juga masa depan. Kita maklum, jika tidak menguasai antariksa, AS sulit mempertahankan status adikuasa karena negara lain yang menguasai teknologi ini, apakah Rusia atau Tiongkok, dengan mudah akan melumpuhkan jaringan komunikasinya dan membuatnya tak berdaya secara militer.
Terkait dengan masa depan, penguasaan teknologi antariksa memberi peluang untuk melakukan koloni angkasa manakala satu saat nanti Bumi sudah lagi tak layak huni. Sebelum itu, ada banyak peluang industri yang bisa didapat dari penguasaan antariksa, yang memberi spinoff.
Tidak kalah penting, melalui teknologi antariksa, yang memungkinkan diluncurkannya teleskop Hubble, pemahaman manusia akan alam semesta pun meningkat. Banyak astronom yang kini bisa mengetahui seluk-beluk tepian alam semesta dari gambar-gambar yang dikirim oleh teleskop Hubble.
Berita utama Kompas, 17 Juli 1969, menguak sedikit kemajuan eksplorasi ruang angkasa dan implikasinya bagi masa depan.
Penulis | : | |
Editor | : | Faras Handayani |
KOMENTAR