Tim peneliti gabungan dari Indonesia, Prancis, dan Singapura merampungkan pemetaan dasar laut dan pengambilan data seismik di perairan Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Itu untuk menambah pengetahuan tentang risiko tsunami akibat gempa di zona Subduksi Mentawai yang termasuk paling rentan di dunia.
"Pemetaan ini dilakukan dengan menggunakan kapal riset milik Schmidt Ocean Institute (SOI) dari Amerika Serikat selama 32 hari pelayaran," kata Carlie Wiener, Manajer Komunikasi SOI, dalam presentasi, di Jakarta, Kamis (25/6).
Ekspedisi itu diikuti 10 peneliti dari Earth Observatory Singapore Nanyang Technological University (EOS-NTU), Institut de Physique du Globe de Paris (IPGP), dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Wiener mengatakan, ekspedisi itu dinamakan Mentawai Gap-Tsunami Earthquake Risk Assessment (Mega-Tera). Ada dua lokasi yang diteliti yakni Cekungan Wharton di mana pernah terjadi dua gempa besar pada 2012 dan kawasan barat Pulau Siberut yang dikenal sebagai Mentawai Gap. Dalam riset itu, gelombang suara dipakai untuk memotret topografi dasar laut, dan struktur sedimen laut dipantau.
!break!Hal itu bertujuan mengambil data seismik resolusi tinggi dan data paras laut (batimetri). Tim menemukan banyak patahan aktif di cekungan Wharton dan Mentawai Gap dengan arah berbeda-beda, dan itu menunjukkan kawasan tersebut mengalami deformasi dalam berbagai skala.
Semua informasi dan data yang diperoleh dari ekspedisi itu, termasuk peta dasar laut beresolusi tinggi, akan dibagikan kepada publik. Informasi dan data tersebut terutama akan dibagikan kepada ilmuwan dan organisasi penelitian.
Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Robert Blake menyambut gembira selesainya misi riset itu. Ia berharap kerja sama dengan Indonesia untuk tujuan riset tentang bencana alam dan kemaritiman bisa ditingkatkan. "Salah satu prioritas baru dan penting bagi kami adalah dukungan Presiden Joko Widodo terkait kemaritiman," katanya.
Kepala LIPI Iskandar Zulkarnain juga mengapresiasi kerja sama riset itu. "Penelitian geologi dan geofisika kelautan menjadi sangat penting dalam pengurangan risiko bencana," katanya.
Patahan aktif
Dari riset yang dilakukan, menurut Zulkarnain, ditemukan beberapa data menarik. Salah satunya, temuan sungai bawah laut dengan kedalaman 5 meter dan lebar 100 meter, di kedalaman 5.000 meter di bawah laut. "Teknologi yang ada di kapal survei ini memungkinkan kita mengetahui topografi dasar laut di kedalaman 5.000-6.000 meter dengan akurat," ujarnya.
Sungai bawah laut itu bisa menjadi indikasi keberadaan patahan aktif. Menurut kepala ekspedisi, Satish Singh, timnya berhasil menemukan patahan aktif di Cekungan Wharton, di kawasan Mentawai Gap dan di dekat palung.
"Hasil temuan ekspedisi itu akan memberi pemahaman lebih baik kepada peneliti untuk mengetahui penyebab tsunami, sehingga bisa menentukan langkah tepat dalam mitigasi bencana," kata Singh, lewat konferensi video. Hingga kini, tim peneliti masih berlayar dari Mentawai untuk berlabuh di Singapura.
Singh mengatakan, Mentawai Gap adalah daerah geologi aktif zona subduksi Sumatera-Andaman yang belum pernah mengalami gempa besar dalam 200 tahun terakhir, sehingga diperkirakan berpotensi merilis gempa besar ke depan. Namun, sejauh ini tak ada yang bisa memastikan kapan gempa terjadi.
Nugroho Hananto, peneliti dari LIPI yang turut dalam ekspedisi itu mengatakan, penelitian yang dilakukan timnya merupakan riset dasar. Dengan demikian, masih butuh beberapa langkah untuk diterapkan.
"Hasil pemetaan nantinya bisa diakses publik setelah kami analisis dan publikasikan dalam paper ilmiah. Lalu, bisa diformulasikan rekomendasi ke pemerintah untuk meningkatkan pengurangan risiko bencana," ujarnya.
Hananto menambahkan, survei di Mentawai itu dilakukan untuk mengetahui kondisi geologi dasar laut sebelum dan sesudah gempa. Jika kemudian terjadi gempa, survei serupa kemungkinan akan dilakukan lagi di wilayah tersebut.
Penulis | : | |
Editor | : | Aris |
KOMENTAR