“Mengamati alam secara terstruktur, merupakan pengisi waktu yang sangat asing bagi mereka. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika pemerian atau pertlaan ilmiah pertama tentang dunia mahluk hidup yang mengelilingi mereka ditulis oleh orang asing,” ucap George Eberhard Rumpf seorang pedagang rempah – rempah buta berkebangsaan Jerman pada bukunya yang terbit di tahun 1750
Hal itu bisa dikatakan sebagai suatu bentuk keprihatinan Rumpf terhadap orang – orang di bangsa kita kala itu akan kekurangan mereka dalam memahami alam kala itu.
Padahal sejak zaman purba, Indonesia telah dikaruniai sumber daya alam nabati dan hewani serta mikrobiologi yang begitu berlimpah. Selain itu pula dapat dikatakan bangsa kita merupakan bangsa yang bergantung pada alam.
Namun mengapa tak banyak dari kita yang mendalami ilmu ini?, sedangkan di sisi lain alam merupakan sesuatu yang seharusnya kita pahami dan pelajari demi kelangsungan hidup kita.
Nenek moyang kita dahulu begitu menghormati alam, mereka percaya bahwa ada kekuatan gaib milik alam yang tak boleh mereka ganggu gugat. Jangankan untuk mempelajari, untuk hal seperti mempertanyakan, mengubah, menyempurnakan, apalagi mengodifikasi merupakan sesuatu yang tabu bagi mereka.
Kekonservatifan, penghormatan berlebihan kepada leluhur, ketakutan pada hal – hal gaib ini kemudian membawa kemandekan bagi bangsa Indonesia untuk mempelajari alam.
Baru kemudian pada zaman penjajahan Belanda kesadaran akan alam dipaksakan melalui disiplin ilmu botani. Itupun hanya untuk beberapa kalangan saja, sehingga dalam prosesnya dibutuhkan waktu yang lama.
Barulah memasuki abad ke-20, tepatnya pada 1941 didirikan Landbouwkundige Faculteit di Jakarta yang kemudian dipindahkan ke Bogor akibat datangnya serbuan Jepang ke Indonesia.
Lambatnya proses ini kemudian merugikan bangsa Indonesia sendiri, bahkan hingga kita merdeka lembaga – lembaga seperti Kebun Raya Bogor, Herbarium Bogoriense, Laboratorium Treub dan Zoologicum Bogoriense masih dipegang jabatan strategisnya oleh orang Belanda yang memilki pengetahuan dan pengalaman yang lebih baik dibandingkan orang Indonesia sendiri.
!break!
Namun akibat hubungan politik kita dengan Belanda yang memburuk pada 1950-an, banyak dari orang Belanda ini pergi meninggalkan jabatan mereka. Sehingga kemudian jabatan – jabatan penting ini diserahkan kepada orang Indonesia yang kala itu masih minim pengalaman.
Hal ini menyebabkan buruknya kualitas negeri kita dalam disiplin ilmu biologi, terjadi berbagai ketidakepatan dan kejanggalan dalam pengajaran dan pengembangan ilmu biologi (terutama taksonomi) yang dampaknya cukup panjang.
Banyak perguruan tinggi yang berfokus dalam disiplin ilmu ini memberikan kuliah taksonomi tumbuhan atau botani sistematika tetapi mahasiswanya tidak diberikan pembelajaran tentang asas – asas teori dan praktik yang dibutuhkan oleh disiplin ilmu ini.
Penulis | : | |
Editor | : | Soesanti Harini Hartono |
KOMENTAR