Tiongkok adalah negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia. Menurut situs worlfometer.info, tahun lalu, populasi Tiongkok diprediksi mencapai 1,4 miliar jiwa.
Tingginya angka penduduk ini menimbulkan beberapa masalah. Untuk mengatasi masalah tersebut, Tiongkok mengeluarkan kebijakan terkait pembenahan infrastruktur dan transportasi publik.
"Saat ini, ada sekitar 20 juta jiwa yang berpindah dari desa ke kota setiap tahunnya," ujar Director General China Center for Urban Development, Li Tie, saat diskusi yang bertema "Secondary Cities" pada acara New Cities Summit Jakarta 2015, di Hotel Raffles, Jakarta, Rabu (10/6/2015).
Kota-kota besar di Tiongkok, kata Li, menghadapi kesulitan dalam mengontrol ledakan populasi. Fokus pemerintah pusat ini adalah mengatur urbanisasi agar kota-kota tidak semakin penuh sesak.
Ia mencontohkan dua kota besar di Tiongkok, yaitu Shenzhen dan Shanghai. Di Shenzen, penduduknya sendiri sudah mencapai 20 juta jiwa, ditambah dengan adanya warga lain yang masuk kota tersebut sebanyak 10 juta jiwa. Demikian halnya Shanghai, penduduknya juga sekitar 20 juta jiwa dengan penambahan populasi akibat urbanisasi adalah 9 juta jiwa.
"Angka ini bukanlah angka yang sedikit. Apa yang pemerintah lakukan saat ini adalah bagaimana mengatur derasnya arus urbanisasi," jelas Li.
Untuk itu, pemerintah pusat tengah menyiapkan beberapa kebijakan guna mendukung pengembangan kota-kota subsider atau penyangga. Hal ini dilakukan tidak lain untuk menahan penduduk di desa berpindah ke kota besar.
Berbicara tentang kota penyangga di Tiongkok, tambah Li, definisinya bisa berbeda dengan standard yang ada di dunia. Biasanya, pada taraf internasional, kota disebut sebagai penyangga saat memiliki penduduk sebanyak 500.000 hingga satu juta jiwa.
Jika berpatokan pada standard ini, artinya Tiongkok telah memiliki banyak kota penyangga atau kota dengan ukuran medium. Jumlahnya, saat ini sudah mencapai 136 kota.
"Tiongkok sudah memiliki 400 kota dengan penduduk di bawah 500.000 jiwa," terang Li.
Pembangunan kota penyangga selanjutnya, tambah Li, adalah dengan memprioritaskan 3 kebijakan. Pertama pembangunan infrastruktur. Dengan membangun infrastruktur yang baik, maka pemerintah bisa mengatur derasnya arus perpindahan penduduk dari desa ke kota ataupun sebaliknya. Intinya, pemerintah menginginkan adanya konektivitas di antara kota dengan kota serta kota dengan desa.
Menurut Li, pemerintah berharap konektivitas ini bisa mengakomodasi setidaknya 500.000 jiwa yang berpergian. Salah satu caranya adalah menyediakan tranportasi umum di tiap-tiap kota.
Kebijakan kedua, adalah mengenai kontrol identitas di kota-kota besar. Sementara kebijakan ketiga adalah mengatur investasi industrialisasi.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR