Kumandang takbir menggema di seluruh penjuru desa. Di langit, gempita kemeriahan semakin lengkap dengan letusan petasan dan letupan kembang api.
Dinginnya udara di Liwa, Lampung Barat, Kamis (16/7/2015) malam, mencapai 19 derajat celsius. Namun, hal itu tidak menjadi halangan. Justru kehangatanlah yang terasa.
Kehangatan malam itu bermula dari meja makan. Sejumlah rumah menyediakan rendang sebagai menu buka puasa terakhir.
”Rendang kali ini rasanya beda karena saya bisa makan rendang bersama anak-anak dan cucu saya,” ujar Hiari Syatiri (53). Di hadapannya tersaji sepiring rendang yang gurih dan pedas lengkap dengan lemang yang legit. Lemang adalah ketan bakar yang dimasukkan ke dalam bambu dan dibakar.
Berbicara soal rendang, kita tak bisa meninggalkan kelapa sebagai salah satu bahan pokok pembuatan rendang. Karena hampir setiap keluarga memasak rendang, tak heran jika tumpukan sabut kelapa ada di sudut-sudut rumah.
Namun, jangan anggap sabut kelapa itu onggokan sampah. Sabut kelapa itu akan digunakan untuk melakukan tradisi Malaman di malam takbir.
Tradisi Malaman dipersiapkan sejak siang pada hari terakhir puasa. Anak-anak dan remaja laki-laki akan menyusun batok-batok kelapa itu di halaman depan rumah.
Batok kelapa lebih dahulu dilubangi dengan alu. Setelah itu, batang cabang dari pohon kopi ditancapkan ke tanah. Batok kelapa yang sudah berlubang tadi disusun di batang kopi hingga menjulang setinggi 1 meter atau bahkan lebih.
Sepulangnya dari shalat, anak-anak dan remaja membakar sabut kelapa tersebut. Api pun mulai menjalar dari atas hingga ke bawah ”menara sabut kelapa”.
”Apinya harus dijaga om, jangan sampai mati. Kadang harus saya tiup biar baranya jadi api. Kadang harus saya siram minyak tanah biar apinya membesar,” kata Zikri Ricko Mulhaq (11).
Sabut kelapa
Malam itu, Ricko dan rekannya, Rabel Anoval (8), tampak asyik membakar sabut kelapa. Ada dua tumpukan sabut kelapa di depan rumah Ricko di Sugehan, Kecamatan Liwa, Lampung Barat.
Sesekali mereka menuang minyak tanah untuk membuat api mereka membesar. ”Wow, gede banget apinya, panas, ha-ha-ha,” sorak Rabel kegirangan.
Butuh waktu sekitar 60 menit hingga semua sabut kelapa terbakar dan menyisakan bara yang memerah terserak di tanah. Dulu, bara tersebut dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam setrika besi dan digunakan untuk menyetrika baju.
”Hei, mana baju yang mau dipakai besok untuk shalat Id? Sini biar mak (ibu) setrika,” tutur Beni Yulianto (32) saat mengisahkan nostalgia masa kecil kepada Kompas.
Percakapan dalam peristiwa itu, kata Beni, kini jarang ditemui. Saat ini, warga Lampung Barat lebih memilih menggunakan setrika listrik untuk menyetrika pakaian Lebaran.
Tahun ini, Beni pulang ke kampung halaman di Sebarus, Kecamatan Liwa, Lampung Barat. Kesempatan yang mungkin hanya datang setahun sekali itu selalu ia manfaatkan untuk berkumpul bersama keluarga, mengenang memori masa kecil, dan berbagi cerita serta rezeki yang ia kumpulkan selama setahun sejak Lebaran tahun lalu.
Rendang, tradisi Malaman, dan kisah setrika bara sabut kelapa menjadi kenangan dan tradisi yang ia nantikan. ”Rendang bikinan mak (ibu) dan Malaman tidak ada di Bandar Lampung. Itu jadi alasan saya harus pulang,” tuturnya.
Selamat Idul Fitri, selamat berkumpul bersama keluarga, selamat mengenang indahnya masa kecil.
Penulis | : | |
Editor | : | Dini Felicitas |
KOMENTAR