Kendati dia tak fasih bahasa Belanda dan Inggris, tampaknya Oie Tiong Ham menjadi orang terkaya di Hindia Belanda.
Bisnis lainnya seperti perkapalan, perbankan, pabrik tepung tapioka, pergudangan, dan perusahaan properti pun turut menggurita pada awal abad ke-20.
Kendati dia tak fasih bahasa Belanda dan Inggris, tampaknya Oie Tiong Ham menjadi orang terkaya di Hindia Belanda. Dia sohor seantero Asia, Australia, Amerika, hingga Eropa. Belakangan, orang-orang menjulukinya sebagai Raja Gula dari Semarang, meskipun sebagian dari kekayaan itu diperoleh dari kesuksesan perniagan candunya.
Namun, sebelum bisnis gulanya sohor mendunia, tampaknya Oie juga telah merintis niaga candu. Pada 1887, Oei meluaskan bisnis candunya dari Semarang ke Kudus hingga Mayong, seiring perluasan jangkauan rel kereta api. Pernyataan itu diungkap Liem Tjwan Ling dalam bukunya Raja Gula Oei Tiong Ham yang terbit di Surabaya pada 1979.
Putri kedua Oei Tiong Ham dari istri pertamanya, Oei Hui Lan atau yang dikenal sebagai Madame Wellington Koo (1889-1992) berkisah tentang tukang pijit keluarganya yang juga pemadat sejati. “Seorang perempuan Cina tua yang sudah keriput dan kecanduan opium,” ungkap Hui Lan mengenang masa gadisnya. “Tukang pijat itu jelek, tetapi suaminya yang sudah tua renta lebih jelek lagi.”
Perempuan itu mengungkapkan dalam tulisannya berjudul “Reminiscences” atau “Kenang-kenangan” yang menjadi bagian buku Oei Tiong Ham Concern: The First Business Empire of Southeast Asia. Buku itu disunting oleh Yoshihara Kunio dan diterbitkan oleh The Center for Southeast Asia Studies Kyoto University pada 1989. Edisi buku itu dalam bahasa Indonesia terbit dua tahun kemudian.
“Setelah enam sedotan dia menjadi seonggok tulang yang memelas," tulis Oei Hui Lan. "Kaki dan tangannya menjadi dingin, kulit kisutnya menjadi mengerut, matanya terbuka tetapi tak melihat.”
Hui Lan menceritakan bagaimana tukang pijit keluarganya itu meracik candu. Cuilan candu itu diambil sedikit, dan dimasukkan ke dalam canting kecil, lalu diaduk hingga menghasilkan cairan lengket. Selepas itu cairan dalam canting dibakar di atas lampu api kecil, hingga mencapai tingkat kekentalan tertentu.
“Candu merupakan barang yang mahal karena itu dinikmati setiap sedotan [...],” tulis Hui Lan. “Setelah enam sedotan dia menjadi seonggok tulang yang memelas. Kaki dan tangannya menjadi dingin, kulit kisutnya menjadi mengerut, matanya terbuka tetapi tak melihat.”
Celakanya, suami si nenek kisut itu juga seorang pemadat. Ketika suami si nenek sedang ketagihan. Demi lelaki tua itu, Hui Lan mengendap-endap untuk mengambil stoples candu di kantor ayahnya. Sebulan kemudian dia melihat kakek renta itu kian ceking badannya. “Ia telah melewatkan waktu sebulan itu dengan kebahagiaan semu,” ungkapnya. “Tentu saja aku tidak menyadari petaka yang telah kulakukan.”
Pada awal 1904 pemerintah Belanda mencabut semua lisensi madat dengan cara opium-regi, yaitu pemerintah secara resmi menjual opium dalam bungkus tube timah. Perniagaan candu sang pakter madat terakhir di Semarang itu pun pupus.
Raja gula itu pindah dari Semarang ke Singapura pada 1921 dan wafat tiga tahun kemudian. Tampaknya, Oei pindah dengan dalih menghindari beban pajak yang menurutnya tak adil dalam hal pemungutan, sekaligus ingin mengatur warisannya tanpa campur tangan pemerintah Hindia Belanda.
Ironisnya, imperium dagangnya hancur justru pada masa Indonesia telah merdeka, ketika Pemerintah Republik Indonesia memainkan peranan penting dalam sistem ekonomi. Pemerintah mendakwa adanya kejahatan ekonomi di balik warisan bisnisnya. Oei Tiong Ham Concern berpindah ke tangan negara secara tragis pada 1961.
No Feast Lasts Forever—tidak ada pesta yang tak berakhir—demikian Hui Lan memberi tajuk pada bukunya yang diterbitkan Quadrangle/The New York Times Book pada 1975. Kisah bisnis ayahnya memang berakhir mengenaskan.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR