“Di antara pachter-pachter madat yang terakhir, hanya Tuan Oei Tiong Ham yang paling beruntung bisa mendapatkan keuntungan dalam perdagangan madat itu,” ungkap Liem Thian Joe, jurnalis kawakan kelahiran Parakan, Jawa Tengah.
Liem Thian Joe (1895-1963) menulis ungkapan itu dalam bukunya yang menjadi penanda permulaan abad yang silam, Riwajat Semarang : dari djamannja Sam Po sampe terhapoesnja Kongkoan. Buku itu pertama kali diterbitkan oleh Ho Kim Yoe di Semarang pada 1933. “Penduduk pribumi yang paling banyak menghisap madat ialah di residentie Surakarta, Yogyakarta dan Kediri,” tulisnya. “Keadaan ini berlangsung sampai sekarang, tidak berubah!”
Pakter madat atau candu adalah pemegang lisensi izin perdagangan candu, yang sekaligus pengelola perdagangan candu, dan membayar sewa setiap tahunnya kepada pemerintah Hindia Belanda. Sejarah pakter bermula pada pemerintahan Raffles 1811-1816. Tatkala itu berbagai pengelolaan gerbang tol dan pasar wilayah kerajaan diambilalih oleh pemerintah Inggris, sementara orang-orang Cina menjadi bandar yang statusnya penyewa usaha. Pada tahun-tahun berikutnya, celah kebijakan itu melahirkan laju perkembangan kilat dalam perniagaan candu ketengan.
Baca juga: Benarkah Bahasa Muncul 1,5 Juta Tahun Lebih Awal dari Perkiraan?
Para penghisap candu menempatkan barang nikmat yang hanya secuil itu di dalam kotak kecil dari kayu atau logam. Sementara, para pedagang candu membungkusnya dengan daun bambu, konon daun itu tidak akan merusak khasiatnya. Pemerintah Hindia Belanda memberikan lisensi niaga candu kepada orang-orang Cina di Jawa sejak beberapa tahun sebelum Perang Jawa berkobar.
Oei Tiong Ham bukanlah orang yang hidup dimasa awal masuknya candu ke Jawa. Dia baru lahir di Semarang pada November 1866, anak dari seorang ayah singkeh Oei Tjie Sien.
Saat krisis perniagaan candu melanda pada akhir 1880-an, hanya empat dari 19 pakter candu yang bertahan. Oei Tiong Ham pun melihat celah untuk memasuki bisnis ini. Menurut Liem, sederet pakter terdahulu pada awalnya mendapat keuntungan, namun pada akhirnya jatuh bangkrut. “Tetapi, Tuan Oei Tiong Ham sebaliknya mendapat keuntungan besar...”
Kira-kira keuntungan bersih Oei dalam bisnis candu selama 13 tahun itu sejumlah Rp1,2 triliun, atau sekitar Rp92 milyar setiap tahunnya!
Oei memang merupakan pakter candu terakhir di Semarang. Kendati hanya menjadi pakter kawasan Semarang, Surakarta, Yogyakarta, dan Surabaya, setidaknya sejak 1890 hingga 1903 telah mendapat keuntungan bersih ƒ18.000.000.
Berapa besar jumlah keuntungan itu dalam rupiah saat ini? Kalau dihitung-hitung, 1 gram emas ketika itu harganya sekitar ƒ7. Dengan kata lain, uang sebanyak itu bisa dibelanjakan untuk membeli 2,5 ton emas. Jika 1 gram emas saat ini seharga Rp473.000, asumsi harga emas tak banyak berubah, kira-kira keuntungan bersih Oei dalam bisnis candu selama 13 tahun itu sejumlah Rp1,2 triliun, atau sekitar Rp92 milyar setiap tahunnya!
Sejak 1890, Oei Tiong Ham menjabat sebagai mayor tituler di kota kelahirannya selama 13 tahun. Salah satu warisannya yang masih tampak megah hingga kini adalah sebuah kediaman bergaya indis dengan beranda berpilar yang bertempat di bilangan Gergaji, Semarang. Jumlah kamar di kediamannya mencapai 16-18 kamar! Tampaknya dia memiliki pribadi yang revolusioner. Oei menjadi orang Cina pertama yang terlihat berbusana ala Eropa di Semarang, sekaligus orang Cina pertama yang memotong taucangnya.
Sejak 1863, ayahnya merintis usaha bernama Kian Gwan, yang kelak menjadi lahan subur bisnis sang anak. Oei Tiong Ham mendirikan bisnis konglomerasi Oei Tiong Ham Concern dengan bisnis utamanya adalah gula tebu, yang mulai melesat pada 1890-an. Sebelum Perang Dunia Kedua, induk bisnis keluarga Oei ini merupakan perusahaan konglomerasi pertama dan terbesar di Asia Tenggara.
Dia juga pemilik NV Handel Maatschappij Kian Gwan, sebuah perusahaan perdagangan gula internasional. Serta, NV Algemeene Maatschappij tot Exploitatie der Oie Tiong Ham Suikerfabrieken yang mengelola lima perkebunan dan penggilingan tebu di Jawa: Pakis, Rejoagung, Krebet, Tanggulangin, dan Ponen. Semuanya diraih sebelum usianya mencapai 30 tahun.
Kendati dia tak fasih bahasa Belanda dan Inggris, tampaknya Oie Tiong Ham menjadi orang terkaya di Hindia Belanda.
Bisnis lainnya seperti perkapalan, perbankan, pabrik tepung tapioka, pergudangan, dan perusahaan properti pun turut menggurita pada awal abad ke-20.
Kendati dia tak fasih bahasa Belanda dan Inggris, tampaknya Oie Tiong Ham menjadi orang terkaya di Hindia Belanda. Dia sohor seantero Asia, Australia, Amerika, hingga Eropa. Belakangan, orang-orang menjulukinya sebagai Raja Gula dari Semarang, meskipun sebagian dari kekayaan itu diperoleh dari kesuksesan perniagan candunya.
Namun, sebelum bisnis gulanya sohor mendunia, tampaknya Oie juga telah merintis niaga candu. Pada 1887, Oei meluaskan bisnis candunya dari Semarang ke Kudus hingga Mayong, seiring perluasan jangkauan rel kereta api. Pernyataan itu diungkap Liem Tjwan Ling dalam bukunya Raja Gula Oei Tiong Ham yang terbit di Surabaya pada 1979.
Putri kedua Oei Tiong Ham dari istri pertamanya, Oei Hui Lan atau yang dikenal sebagai Madame Wellington Koo (1889-1992) berkisah tentang tukang pijit keluarganya yang juga pemadat sejati. “Seorang perempuan Cina tua yang sudah keriput dan kecanduan opium,” ungkap Hui Lan mengenang masa gadisnya. “Tukang pijat itu jelek, tetapi suaminya yang sudah tua renta lebih jelek lagi.”
Perempuan itu mengungkapkan dalam tulisannya berjudul “Reminiscences” atau “Kenang-kenangan” yang menjadi bagian buku Oei Tiong Ham Concern: The First Business Empire of Southeast Asia. Buku itu disunting oleh Yoshihara Kunio dan diterbitkan oleh The Center for Southeast Asia Studies Kyoto University pada 1989. Edisi buku itu dalam bahasa Indonesia terbit dua tahun kemudian.
“Setelah enam sedotan dia menjadi seonggok tulang yang memelas," tulis Oei Hui Lan. "Kaki dan tangannya menjadi dingin, kulit kisutnya menjadi mengerut, matanya terbuka tetapi tak melihat.”
Hui Lan menceritakan bagaimana tukang pijit keluarganya itu meracik candu. Cuilan candu itu diambil sedikit, dan dimasukkan ke dalam canting kecil, lalu diaduk hingga menghasilkan cairan lengket. Selepas itu cairan dalam canting dibakar di atas lampu api kecil, hingga mencapai tingkat kekentalan tertentu.
“Candu merupakan barang yang mahal karena itu dinikmati setiap sedotan [...],” tulis Hui Lan. “Setelah enam sedotan dia menjadi seonggok tulang yang memelas. Kaki dan tangannya menjadi dingin, kulit kisutnya menjadi mengerut, matanya terbuka tetapi tak melihat.”
Celakanya, suami si nenek kisut itu juga seorang pemadat. Ketika suami si nenek sedang ketagihan. Demi lelaki tua itu, Hui Lan mengendap-endap untuk mengambil stoples candu di kantor ayahnya. Sebulan kemudian dia melihat kakek renta itu kian ceking badannya. “Ia telah melewatkan waktu sebulan itu dengan kebahagiaan semu,” ungkapnya. “Tentu saja aku tidak menyadari petaka yang telah kulakukan.”
Pada awal 1904 pemerintah Belanda mencabut semua lisensi madat dengan cara opium-regi, yaitu pemerintah secara resmi menjual opium dalam bungkus tube timah. Perniagaan candu sang pakter madat terakhir di Semarang itu pun pupus.
Raja gula itu pindah dari Semarang ke Singapura pada 1921 dan wafat tiga tahun kemudian. Tampaknya, Oei pindah dengan dalih menghindari beban pajak yang menurutnya tak adil dalam hal pemungutan, sekaligus ingin mengatur warisannya tanpa campur tangan pemerintah Hindia Belanda.
Ironisnya, imperium dagangnya hancur justru pada masa Indonesia telah merdeka, ketika Pemerintah Republik Indonesia memainkan peranan penting dalam sistem ekonomi. Pemerintah mendakwa adanya kejahatan ekonomi di balik warisan bisnisnya. Oei Tiong Ham Concern berpindah ke tangan negara secara tragis pada 1961.
No Feast Lasts Forever—tidak ada pesta yang tak berakhir—demikian Hui Lan memberi tajuk pada bukunya yang diterbitkan Quadrangle/The New York Times Book pada 1975. Kisah bisnis ayahnya memang berakhir mengenaskan.
“Oei Tiong Ham weg hilang sekitar 1950-an,” ungkap Yogi Fajri, “lalu berganti menjadi Jalan Pahlawan.”
Muhammad Yogi Fajri, penggiat komunitas sejarah di Semarang, mengungkapkan kepada saya tentang seruas nama jalan lawas di Semarang. Pada peta Kaart van Semarang en Omstreken yang diterbitkan Nillmij pada 1920, ungkapnya, terdapat seruas jalan yang mengabadikan nama sang raja candu terakhir itu, Oei Tiong Ham weg.
Namun, seiring romantisme pemerintah yang berdalih membangun memori perjuangan bangsa, pada 1950-an berbagai ruas jalan yang mengabadikan nama opsir Cina atau Belanda pun berganti nama.
“Oei Tiong Ham weg hilang sekitar 1950-an,” ungkap Yogi, “lalu berganti menjadi Jalan Pahlawan.” Sementara sampai hari ini di Singapura, Oei Tiong Ham Building masih menjadi nama suatu gedung di National University of Singapore. Di negeri tetangga itu namanya juga menjadi tengara taman permukiman di kawasan bergengsi, Oei Tiong Ham Park.
Yogi juga menunjukkan dua ruas bilangan lain di peta lawas yang mengabadikan nama opsir Cina. Oei Tiong Beng weg, yang mengabadikan nama mayor Cina dan adik Oei Tiong Ham, berganti nama menjadi Jalan Sultan Agung. Kemudian, seruas Be Biaw Tjoan weg, yang mengenang seorang mayor Cina, berganti nama menjadi Jalan Mayjen. Sutoyo.
Baca juga: Permafrost Arktik Meleleh, Jutaan Galon Merkuri Bisa Lepas ke Lautan
Liem Thian Joe mengungkapkan saudagar-saudagar Cina di Singapura yang punya kebiasaan menghisap candu. “Sesudah selesai membicarakan urusan dagang, mereka bersama-sama menghisap candu,” tulisnya. “Yang paling buruk dari kebiasaan itu adalah orang Tionghoa itu tidak sadar bahwa madat itu adalah racun."
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR