Penggunaan bahan tambahan pangan dalam produk olahan industri usaha mikro kecil menengah belum distandarisasi oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan. Hal ini menyebabkan makanan dan minuman tak layak konsumsi tetap beredar di pasaran.
"Tidak semua bahan kimia yang ditambahkan dalam makanan dan minuman merupakan zat berbahaya. Namun, pada industri rumah tangga ini jadi masalah karena tidak ada standar yang mengatur," ujar Guru Besar Ilmu Pangan dari Institut Pertanian Bogor Made Astawan saat dihubungi, Selasa (18/8).
Masalah tersebut sebelumnya dibahas dalam diskusi terkait pemahaman penggunaan bahan tambahan pangan di masyarakat. Diskusi tersebut diikuti berbagai kalangan, mulai dari ahli pangan, pelaku industri makanan dan minuman, perwakilan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), perwakilan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), perwakilan Kementerian Perindustrian, dan perwakilan Kementerian Perdagangan.
Bahan tambahan pangan (BTP) adalah bahan atau campuran bahan yang bukan bagian dari bahan baku pangan secara alami, melainkan ditambahkan ke dalam pangan untuk memengaruhi sifat atau bentuknya. Misalnya, bahan pewarna, pengawet, penyedap rasa, anti gumpal, pemanis, pemucat, dan pengental.
Astawan mengatakan, walaupun bahan yang digunakan industri rumah tangga (UMKM) itu adalah BTP yang berizin, tetapi apabila digunakan tidak sesuai dosis, tetap akan merugikan konsumen. Untuk itu, para pelaku UMKM perlu diedukasi mengenai penggunaan BTP.
Selain itu, pengawasan BPOM terhadap produk UMKM juga masih minim. Menurut staf BPOM, Lili Devi Z, pelaku industri rumah tangga yang tertangkap tangan menyalahgunakan BTP tidak dikenai sanksi. "Selama ini, kami hanya memberi pembinaan dan bimbingan karena dalam peraturan tidak ada sanksi," ujarnya.
Dari pengalaman di lapangan, Lili mendapatkan alasan para pelaku industri rumah tangga. Pedagang makanan tersebut mengaku, konsumen lebih suka produk yang ditambahkan bahan kimia berbahaya dibandingkan produk dengan BTP yang berizin.
"Untuk itu, masyarakat sebagai konsumen juga perlu menggunakan haknya untuk membaca label komposisi makanan yang tertera di kemasan. Informasi mengenai penggunaan BTP ini perlu disebarluaskan agar masyarakat lebih kritis dalam memilih bahan makanan yang akan dikonsumsi," ujar Astawan.
Para pelaku industri rumah tangga juga diharapkan mendaftarkan produknya ke dinas kesehatan di daerah setempat untuk mendapatkan sertifikat Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT). "Biasanya, sebelum mendapat sertifikat PIRT, pelaku industri diberikan penyuluhan mengenai pemakaian BTP yang baik," katanya.
BTP baru
Technical Director PT Nestle Indofood Citrarasa Indonesia, Patricia RL Tobing, mengatakan, penyalahgunaan BTP oleh oknum industri rumah tangga berimbas pada produksi industri besar. Informasi yang simpang siur mengenai BTP yang disebarkan lewat berbagai media informasi membuat masyarakat beranggapan bahan tersebut mutlak berbahaya.
"Contohnya, aspartam (bahan pemanis buatan). Jika digunakan sesuai standar tidak apa-apa. Tetapi, informasi yang simpang siur dan tak bertanggung jawab membuat masyarakat takut," ujar Patricia.
Patricia juga menilai, BPOM kurang mengikuti perkembangan zaman mengenai bahan tambahan pangan. Padahal, banyak penemuan bahan tambahan pangan baru yang lebih efektif dari yang digunakan sebelumnya. Namun, karena bahan tersebut tidak masuk bahan yang diizinkan BPOM, produk baru tersebut tidak bisa digunakan di Indonesia. (B06)
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Dini Felicitas |
KOMENTAR