Di antara ratusan anggota masyarakat berkebutuhan khusus yang berdemo dalam aksi “BERGERAK untuk DISABILITAS” kemarin (18/9) ada satu pemuda yang menjadi perhatian banyak orang. Ia menjadi sasaran wartawan untuk diwawancarai. Mengenakan pakaian koko khas Betawi pemuda itu sibuk menjawab berbagai pertanyaan wartawan dengan menggunakan bahasa isyarat. Pemuda itu tuli sejak dilahirkan.
Namanya Surya Sahetapy, umurnya 21 tahun. Dari namanya apakah ada hubungan keluarga dengan aktor Ray Sahetapy? Ya benar, ia adalah anak kandung dari pasangan Dewi Yull dan Ray Sahetapy. Ia bergabung dengan rekan disabilitas lainnya melakukan aksi longmarch dari patung kuda di dekat Monumen Nasional sampai ke Bundaran HI. Mereka berdemo menuntut DPR RI untuk segera mengesahkan Rancangan Undang Undang (RUU) Penyandang Disabilitas yang telah lama dibahas di parlemen.
(Baca juga: Berbagi Ruang Berbagi Peluang, artikel feature kami tentang perjuangan warga berkebutuhan khusus)
Saat diwawancara, Surya mengaku tergerak hatinya untuk berjuang bersama teman-temannya dalam aksi ini berdasar pengalaman pribadi sebagai penyandang disabilitas. Lewat seorang sukarelawan yang menerjemahkan bahasa isyaratnya, ia menceritakan pengalamannya betapa susahnya hidup sebagai penyandang disabilitas di Indonesia.
“Saya tuli, punya pengalaman mengalami hambatan-hambatan, contohnya pekerjaan dan pendidikan,” jelasnya. “Waktu saya masih SMP ikut kelompok diskusi tertinggal dengan teman-teman lainnya. Karena mereka menggunakan bahasa oral. Saya kesulitan untuk memahaminya karena saya harus membaca gerak bibirnya secara cepat,” lanjutnya lagi.
Menurutnya, seharusnya ada penerjemah bahasa isyarat di sekolah-sekolah, namun nyatanya tidak ada. Ia sudah berkunjung ke sekolah-sekolah Maluku dan Cirebon, dan mendapati penyandang disabilitas sangat tertinggal dibanding mereka yang tinggal di kota-kota besar. “Tidak bisa bersekolah, tidak bisa berkomunikasi, terhambat dan didiskriminasi. Menjadi korban perkosaan dan lain-lain,” ia berkisah.
Pengalaman itu menjadi beban baginya. Ia ingin teman-temannya yang tuli punya hak sama dengan orang yang mendengar. Setara haknya, mendapat akses pendidikan, mendapatkan pekerjaan dan tidak didiskriminasi.
Pengesahan RUU ini sangat penting bagi penyandang disabilitas. “Kalau sudah disahkan, pemerintah harus membantu teman-teman disabilitas untuk menyelesaikan masalah-masalah seperti hambatan pendidikan,” jelasnya. Teman-temannya yang tuli bisa kuliah, ditambah lagi ada terjemahan bahasa isyarat sehingga teman-teman tuli tidak tertinggal. “Teman-teman disabilitas harus semangat, harus bersuara,” lanjutnya lagi.
Surya sendiri menjalani empat sistem pendidikan yang berbeda. Ia pernah bersekolah di Sekolah Luar Biasa khusus untuk tuli, yang kedua di sekolah umum SMP Pembangun Jaya. Yang ketiga homeschooling pada Kak Seto, sekarang ia kuliah di Universitas Sampoerna jurusan pendidikan bahasa Inggris.
Dalam kuliah, hambatan komunikasi selalu ada, “Suka tidak nyambung,” katanya. Ia banyak terbantu karena kebaikan teman-temannya yang sukarela menuliskan apa yang dikuliahkan dosen di depan kelas. Ia bisa menyalin dan belajar di rumah. Namun, ia tetap kesulitan berekspresi, misalnya saat mau bertanya kepada dosen. Untung sudah ada teknologi internet dan digital. Ia bisa bertanya melalui email atau mengirim pesan lewat smartphone. Sekarang ia merasa senang ada penerjemah bahasa isyarat.
Pertama kali kuliah, ia kesulitan berkomunikasi dengan teman-teman kuliah. Karena teman-temannya berbicara cepat sekali. Ia tidak bisa membaca gerak bibirnya. Namun seiring dengan berjalannya waktu, teman-teman memahaminya. Mereka mulai berbicara pelan-pelan atau menuliskannya, atau menggunakan pesan teks handphone. Begitu juga jika ia dan rekan-rekannya yang tuli bepergian. Jika ke rumah, mereka akan menuliskan pesannya secara rinci biar tidak salah komunikasi.
Saat ditanya di usianya sekarang apakah ia sudah punya pacar? Ia bilang akan meneruskan kuliahnya sampai pasca sarjana dulu. Ia mengakui banyak teman-teman perempuan yang tertarik padanya, tapi ia tidak terlalu menanggapinya. “Mau fokus di pendidikan dan mau fokus memperjuangkan komunitas tuli, membantu komunitas tuli,” jelasnya.
Dukungan kedua orang tuanya dirasakannya sangat luar biasa. Orang tuanya menerima kalau ia tuli. Mereka mengajarkan bicara secara oral dari guru terapi bicara selama delapan tahun. "Saya bisa berbicara dan mereka mendukung saya untuk kuliah terus sampai sekarang ini."
Ia memberi masukan kepada orang tuanya, berdasarkan pengalamannya. Anak tuli sebaiknya diajarkan pertama kali bahasa isyarat, bukan oral. Karena itu sangat menyulitkan bagi yang tuli. Anak yang terlahir tuli tak bisa mendengar tapi kemampuan visualnya kuat, maka bahasa isyarat lebih mudah mereka terima dibanding bahasa oral. Bahasa isyarat harus diperkenalkan dari mereka sejak lahir. Bahasa isyarat juga memudahkan mereka untuk belajar membaca dan menulis.
Ia bersyukur dibesarkan dikeluar yang sangat mendukungnya. Kini ia mulai mengikuti jejak orang tuanya untuk bermain di film layar lebar. Ia ikut berperan dalam sebuah film yang berjudul “Sebuah Lagu Untuk Tuhan” yang akan beredar bulan September 2015 nanti. Bukan sebagai pemeran utama, ia berperan menjadi guru bahasa isyarat.
Penulis | : | |
Editor | : | Latief |
KOMENTAR