Dunia telah mencatat, gedung bekas hotel Belanda di Desa Linggajati, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, menjadi saksi salah satu episode paling menentukan dalam perjuangan Republik Indonesia mempertahankan kemerdekaan. Di gedung itu, delegasi Indonesia berunding dengan Belanda, yang dikenal dengan Perundingan Linggarjati.
Si Bung Kecil, Perdana Menteri Sutan Syahrir bersama delegasi Indonesia lain, meladeni delegasi Belanda yang dipimpin Willem Schermerhorn dalam perundingan tentang kedaulatan Indonesia. Perundingan akhirnya dicurangi, tetapi kemerdekaan bagaimanapun adalah harga mati.
Drama perundingan itu hingga sekarang masih abadi dan terawat dengan baik di Desa Linggajati yang kini masuk Kecamatan Cilimus.
Embusan angin dari Gunung Ciremai sedikit mendinginkan cuaca yang pada Minggu (9/8/2015) pagi itu cerah. Berada di kaki Gunung Ciremai, bangunan seluas 800 meter persegi itu menjadi daya tarik utama pengunjung, utamanya pada hari libur. Pengunjung banyak berlalu-lalang keluar-masuk gedung atau duduk dan bersantai-santai di rumput halaman yang penuh bunga dan aneka tanaman.
Empat pemandu duduk di depan pintu masuk. ”Mari, silakan masuk. Tiketnya cuma Rp 2.000 per orang,” kata Sulaeman (41), pemandu wisata Gedung Naskah Linggarjati, menyapa. Ia menawarkan jasanya untuk memandu berkeliling ke seluruh bagian gedung. Setiap wisatawan yang datang ke gedung itu boleh memilih ditemani pemandu atau tidak. Sulaeman adalah satu dari 12 petugas di museum.
Nuansa heroik dari gedung itu mulai terasa ketika pengunjung memasuki ruangan pertama dan sekaligus utama dari gedung itu. Satu kotak kaca di dekat pintu di bagian kanan ruangan menggambarkan suasana perundingan dalam bentuk diorama. Kotak itu mewakili apa yang terjadi pada tanggal 11-13 November 1946, ketika empat delegasi Indonesia berunding dengan empat delegasi Belanda.
!break!Hadir dari pihak Indonesia ialah Sutan Syahrir (Ketua), Soesanto Tirtoprodjo, Adnan Kapau Gani, dan Mohammad Roem. Adapun dari pihak Belanda Willem Schermerhorn (Ketua), Van Der Poll, F De Boer, dan HJ Van Mook. Seorang penengah dari Inggris, Lord Killearn, duduk paling ujung dan berada di tengah sehingga bisa menghadap kepada kedua delegasi dari dua bangsa.
Selain digambarkan dalam diorama, suasana pertemuan juga berusaha direplikasi dengan menghadirkan nama-nama delegasi dan penempatannya sesuai dengan aslinya. Foto-foto hitam putih dengan pigura kayu melengkapi suasana tua yang ingin dibangun di museum itu.
Begitu juga dengan barang- barang yang disimpan museum, sebagian besar adalah replika kendati masih banyak yang asli. ”Kursi ini masih asli. Rangka kayunya tidak diubah sama sekali, hanya kulit sofanya yang diganti. Dulu, para delegasi duduk-duduk di sini, di sela-sela istirahat dalam perundingan,” kata Sulaeman.
Satu piano yang dikunci di dekat kursi istirahat delegasi juga masih asli. Meja dan empat kursi makan di dapur yang kondisinya masih terawat, ternyata juga masih orisinal. Barang-barang itu dilarang diduduki dan dipindahkan oleh pengunjung.
!break!”Saat gedung ini berkali-kali pindah tangan, sebagian besar perabotan hilang. Sebagian lagi tersebar di tangan penduduk sekitar. Hanya sedikit perabotan asli yang bisa ditemukan kembali. Kursi, meja, dan lemari yang ada di tujuh kamar delegasi semuanya hilang. Yang disimpan di sini adalah duplikatnya,” kata Sulaeman, yang baru lima tahun menjadi pemandu.
Pengunjung yang datang ke gedung itu pun banyak terbantu dengan keterangan yang ditulis di setiap bagian bawah foto. Foto-foto hitam putih itu adalah hasil jepretan jurnalis asing yang meliput perundingan.
Salah satu foto paling ikonik adalah gambar empat jurnalis yang duduk di tangga, di depan rumah peristirahatan Sutan Syahrir, Perdana Menteri, yang juga Ketua Delegasi Indonesia ketika itu. Keempatnya menulis dengan mesin ketik dalam posisi duduk berundak dari atas ke bawah, mengikuti posisi tangga.
Penulis | : | |
Editor | : | Dini Felicitas |
KOMENTAR