”Saat itu hanya jurnalis asing yang mengikuti perundingan itu. Tidak ada wartawan dari Indonesia. Foto-foto ini juga kami peroleh dari arsip yang dikirimkan pihak Belanda. Tidak satu pun dari Indonesia,” ucap Sulaeman.
!break!Di bagian depan ruangan Lord Killearn terdapat satu sofa panjang, satu meja, dan dua sofa pendek yang saling berhadapan. Satu jam sebelum perundingan hari pertama dimulai, Soekarno dan Mohammad Hatta berbincang dengan Lord Killearn. Satu lukisan sketsa karya Henk Ngantung, Gubernur DKI Jakarta, yang menggambarkan pertemuan Bung Karno dengan Killearn, dipajang di ruangan itu.
Di salah satu ruangan delegasi dipajang foto Jacobus Van Os, seorang Belanda yang pertama kali membangun gedung itu secara permanen tahun 1930. Sebelumnya, tahun 1918, di lokasi gedung itu berdiri gubuk milik Ibu Jasitem. Tahun 1921, pengusaha gula berkebangsaan Belanda bernama Mergen merombak gubuk menjadi bangunan semipermanen. Van Os membeli gedung dari Mergen dan menjadikannya bangunan permanen.
!break!Perjalanan panjang
Gedung itu melalui perjalanan panjang, sebelum pemerintah menengok kembali. Gedung itu pernah menjadi Hotel Rustoord pada tahun 1935. Lalu namanya diubah menjadi Hotel Hokay Ryokan pada masa Jepang. Tahun 1945, gedung itu menjadi Hotel Merdeka. Gedung itu juga pernah menjadi markas tentara Belanda 1948-1950, kemudian dialihfungsikan menjadi SD Linggajati tahun 1950-1975.
”Gedung ini empat kali direnovasi. Tahun 1975, Bung Hatta dan Ibu Syahrir berkunjung dan mengabarkan bahwa gedung ini akan dibangun ulang oleh Pertamina. Tahun 1976, gedung ini diserahkan ke Departemen Pendidikan dan Kebudayaan untuk diolah menjadi museum,” urai Saom, Kepala Pengelola Museum Linggarjati.
Kini, gedung itu berada di bawah perawatan Balai Pelestarian Cagar Budaya Serang, Banten. Bagian dalam gedung dirawat dan kondisinya bersih sehingga wisatawan merasa nyaman berkunjung. Halaman gedung yang luas dan dipenuhi tanaman serta bunga-bungaan menjadi daya tarik tersendiri bagi anak-anak muda.
Setiap musim libur sekolah dan hari-hari besar keagamaan, turis memadati gedung itu. ”Saat Lebaran kemarin, 8.000 wisatawan datang. Sebagian di antaranya orang Belanda yang merasa punya keterikatan dengan gedung ini,” kata Saom.
!break!Pemerintah Kabupaten Kuningan pun menjadikan Gedung Naskah Linggarjati sebagai ikon pariwisata andalan. Pemkab memiliki mimpi menjadikan gedung itu sebagai museum bertaraf internasional, tidak hanya menampilkan wujud asli bangunan, tetapi juga dilengkapi pertunjukan film yang memutarkan film-film dokumentasi di era perjuangan.
”Bagi Kuningan, gedung ini adalah simbol partisipasi rakyat mendukung perjuangan Indonesia. Perundingan Linggarjati adalah awal dari rentetan perjuangan mempertahankan kemerdekaan dari rongrongan sekutu dan Belanda. Oleh karena itu, gedung ini tidak boleh diabaikan,” kata Teddy Suminar, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kuningan.
”Kuningan ingin menggelorakan salam dan pekik merdeka ke seluruh Nusantara melalui wisata. Gedung inilah simbol perjuangan kami,” ujar Teddy.
Penulis | : | |
Editor | : | Dini Felicitas |
KOMENTAR