Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, Bahan Berbahaya dan Beracun (PSLB3) berkomitmen menghapus penggunaan merkuri oleh penambang emas skala kecil (PESK) pada 2018.
Sejauh ini, sudah ada rencana aksi nasional PESK, harmonisasi kebijakan dengan sektor terkait, pengembangan teknologi alternatif bebas merkuri, serta pelatihan kepada penambang.
Satu lagi, pemerintah juga bekerjasama dengan Yayasan Tambuhak Sinta (YTS), Kalimantan Tengah, menerapkan teknologi menambang emas tanpa merkuri. Cara ini dinamakan metode manado. Ia sudah diterapkan di Pototano, pelabuhan sunyi di Sumbawa Barat, bagian timur Indonesia.
Mayoritas masyarakat mencari nafkah dari laut. Namun perhatian mereka mulai beralih ke daratan, pada emas yang terkandung di perbukitan. Penambang berbondong-bondong datang ke Sumbawa mencari emas.
YTS memperkenalkan metode manado. Para penambang bisa menghasilkan lebih banyak emas tanpa menggunakan air raksa. “Mereka harus lihat proses terlebih dahulu. Hanya dengan bekerja bersama mereka, kami bisa meyakinkan metode manado bisa menghasilkan emas lebih daripada menggunakan raksa,” kata Sumali Agrawal, Direktur Eksekutif YTS.
Sebuah video berdurasi 17 menit menjelaskan bagaimana mendapatkan manfaat ekonomi bagi penambang emas skala kecil dengan mengeliminasi penggunaan air raksa. Video ini mendokumentasikan inovasi pemanfaatan ijuk hitam dari pohon gula aren sebagai metode menangkap dan mengkonsentrat emas.
Ijuk, kata Sumali, salah satu alternatif pengganti merkuri dalam menambang emas. “Barang lokal, murah, dan penambang bisa mendapatkan ekstraksi lebih tinggi.”
Pengolahan emas tanpa merkuri menggunakan peralatan yang sama seperti penambang biasa. Tidak ada tambahan biaya. “Bedanya, tidak boleh masukkan merkuri ke tromol dan mengganti dengan ijuk. Beberapa kali percobaan, hasilnya penambang bisa mendapatkan hasil dua sampai empat kali lebih banyak dari biasa.” Dengan metode ini, batuan yang didapat penambang bisa dihaluskan tanpa menggunakan raksa.
Caranya, setelah diambil dari pohon, ijuk dipotong-potong. Lidi-lidi yang lepas, dibuang. Ujung tidak bisa dipakai. Yang dipakai bagian tengah saja dan pemotongan harus rapi.
Ijuk dipasang di kasbok yang dirangkai pada gelondong (alat penghancur batuan). Cara pasang ijuk dari bawah ke atas, seperti susun genteng. Setelah disusun rapi, ijuk ditahan oleh kayu. Selain berfungsi menahan ijuk, kayu juga menahan konsentrat yang meluncur dari air. Air tidak langsung ke bawah, tetapi tertahan di kayu, dari atas air kental, makin ke bawah makin encer. Ada lima kayu sebagai penyaring. Air encer sudah tak mengandung emas ditampung dalam bak pembuangan.
Proses ini dinamakan konsentrasi gravitasi. Ketika keluar dari gelondong, air langsung menuju kasbok. Ijuk menangkap emas dengan mudah dan cepat. Emas yang paling haluspun tidak terbuang. “Dari 10 karung batuan, kita bisa dapatkan satu karung konsentrat dan tidak ada emas terbuang. Waktu yang dibutuhkan dengan cara ini kurang lebih sama jika menggunakan mercuri,” kata Sumali.
Setelah selesai, ijuk digulung dan dicuci. Digoyang-goyang sampai turun semua pasir di dalamnya. Lembar ijuk masih bisa dipakai berkali-kali. Sumali menjamin akan lebih banyak emas yang dihasilkan. Kasbok juga dicuci untuk menampung seluruh konsentrat. Konsentrat diproses di kolam pendulangan.
Source | : | National Geographic Indonesia |
Penulis | : | Dok Grid |
Editor | : | Faras Handayani |
KOMENTAR