Sarmadji, "mengubah kesedihan menjadi kekuatan"
"Saat terjadi Peristiwa 1965, saya tengah sekolah di Tiongkok dan saya tidak tahu menahu apa yang terjadi."
Sarmadji mengumpulkan sekitar 3.000 buku, sebagian besar tentang apa yang terjadi pada 1965 dan 1966 dan membuka perpustakaan di rumahnya yang dibuka untuk umum.
"Perpustakaan ini adalah monumen peringatan bagi mereka yang dicabut paspornya secara paksa dan meninggal di luar negeri. Jumlahnya yang sudah meninggal sekitar 130 orang dari Tiongkok sampai Eropa Barat."
"Saya mengumpulkan (buku-buku) ini untuk mengubah kesedihan menjadi kekuatan. Berangsur-angsur kekuatan saya bertambah dan kesedihan saya berkurang," kata Sarmadji.
Pengakuan apa yang terjadi
Baik Isa, Sungkono, Chalik dan Sarmadji berharap salah satu hal yang akan dilakukan pemerintah adalah pengakuan atas apa yang terjadi pada 1965 dan 1966.
"Yang pertama akui apa yang terjadi, seperti yang sudah diakui oleh Komnas, dan yang penting juga adalah rehabilitasi nama baik dan hak hak politik dari warga negara yang direnggut hak-haknya," kata Isa.
Pada 2012 lalu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyatakan terjadi pelanggaran HAM berat pada 1965-1966.
"Sebagai utang sejarah masa lalu negeri ini, penyelesaian (pelanggaran HAM berat) dapat ditempuh melalui mekanisme rekonsiliasi," kata Profesor Hafid Abbas, anggota Komnas HAM.
"Idealnya mekanisme penyelesaian kasus semestinya diatur dalam suatu undang-undang. Saya sekali UU KKR telah dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 2006. Masih belum terlamabat pada periode kabinet Presiden Joko Widodo, rekonsiliasi diselesaikan dengan menyiapkan UU KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) yang memerlukan dukungan politik presiden," kata Hafid kepada BBC Indonesia.
Sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam, yang menyebut para eksil sebagai "orang-orang Indonesia yang teraniaya", mengatakan kasus masa lalu ini harus dipilah-pilah karena menyangkut berbagai hal.
"Misalnya untuk para eksil adalah soal pencabutan paspor, yang perlu dijadikan satu kasus, dan kemudian kasus lain seperti diskriminasi anak korban yang tak boleh jadi pegawai negeri dan tentara pada 1981," kata Asvi.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Kontributor Singapura, Ericssen |
KOMENTAR