Korupsi Kehutanan
Awal tahun ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), memulai langkah yang belum pernah dilakukan sebelumnya, yaitu investigasi korupsi di sektor kehutanan.
“Penyimpangan pengelolaan sumber daya kita tidak hanya menyebabkan negara kehilangan banyak uang, tapi juga memiliki imbas sosial yang harus dibayar publik setiap tahun dengan menghirup asap beracun,” kata John Budi, Pelaksana tugas (Plt) Wakil Ketua KPK.
Sektor kehutanan menjadi sumber korupsi besar-besaran. Tatkala mantan presiden Suharto berkuasa, dia memberikan konsesi-konsesi kepada teman dan rekannya sebagai ganti sokongan politik yang mereka berikan.
Namun, saat kekuasaan selama satu dasawarsa terakhir turun dari pemerintahan pusat ke tingkat daerah, korupsi bukannya berhenti. Sebaliknya, menurut pengamat, korupsi menjadi lebih menyebar.
Herry Purnomo, peneliti lembaga Center for International Forestry Research (CIFOR), menyebutkan dalam laporannya bulan lalu bahwa kepala daerah mendapat uang suap dalam jumlah besar dari perusahaan-perusahaan perkebunan yang memerlukan izin usaha. Dia menemukan bahwa lahan kerap sengaja dibakar demi mengklaim kepemilikan.
“Banyak pihak mendapat untung besar dari kebakaran,” kata Purnomo.
Pada saat Jokowi mengunjungi Riau, November 2014 lalu, dia mengatakan, “Tiada solusi baru pada masalah ini karena semua orang memahami apa yang harus dilakukan. Ini soal apakah kita mau menyelesaikan masalah ini.”
Akan tetapi, Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya, mengatakan kepada BBC bahwa dia tidak bisa mengendalikan gubernur-gubernur.
“Saya menyadari kita perlu mendorong para gubernur untuk menjadi lebih waspada dan mengantisipasi, tapi itu tidak mudah. Ada masalah dengan koordinasi,” katanya.!break!
Peta konsesi
Ada pula masalah dengan izin penggunaan lahan yang tumpang tindih. Di Riau, misalnya, sulit untuk mengetahui secara persis letak lahan konsesi satu perusahaan dengan yang lain. Akibatnya, batas-batas hutan lindung menjadi tidak jelas.
“Jika Presiden ingin menghentikan kebakaran hutan dan lahan, pemerintahannya harus menerbitkan peta konsesi,” sebut organisasi Greenpeace Indonesia dalam laporannya bulan lalu.
Pengalaman M Nur, penduduk Desa Sempung, Provinsi Riau, membuktikan mengapa pembuatan peta konsesi ialah keperluan mendesak. Suatu hari, pria berusia 60 tahun yang sehari-hari memanen kayu rotan dari hutan gambut dekat rumahnya itu menyaksikan hutan di sekeliling rumahnya ditebang oleh perusahaan kertas. Kejadian itu berlangsung tiba-tiba, tanpa peringatan sedikit pun.
“Saya tidak tahu banyak. Namun, dari yang saya lihat ialah jika perusahaan diberikan satu inci, mereka akan ambil dua inci. Itulah yang terjadi sampai semuanya nyaris habis,” ujarnya.
“Saya merasa sedih. Ke mana hewan-hewan akan pergi? Lalu bagaimana nasib anak cucu kita? Dengan situasi yang terjadi saat ini, mereka tidak akan menerima apa-apa.”
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR