“Masih banyak ikan di laut? Itu tidak benar,” ujar Suseno, Staf Ahli Bidang Kemasyarakatan dan Hubungan AntarLembaga dari Kementerian Kemaritiman dan Perikanan. Mendapat gelar sebagai negara maritim nampaknya membuat Indonesia harus berbesar hati mengakui bahwa kejayaannya atas kekayaan laut tak lama lagi akan berakhir. Hal ini akan terjadi apabila eksploitasi yang terus meningkat tidak diimbangi oleh aktivitas konservasi.
Melalui Living Blue Planet Report, WWF-Indonesia melaporkan bahwa kerusakan ekosistem laut Indonesia kini semakin kritis, akibatnya setengah dari populasi laut terus berangsur mengalami penurunan dan mengantar kejayaan Indonesia sebagai negara maritim pada ujung tanduk. Laporan ini dibenarkan oleh Kementerian Kemaritiman dan Perikanan bahwa negara telah mengalami kerugian sebesar Rp 101 triliun yang terdiri dari 25% total potensi perikanan sejumlah 1 juta ton per tahun.
Laju perubahan iklim yang pesat bukanlah faktor utama dari kerusakan ekosistem laut, melainkan ulah tangan manusia. Illegal fishing, aktivitas industri pariwisata bahari, pembangunan infrastruktur yang tidak bertanggung jawab merupakan kegiatan yang merusak habitat ikan. “Sistem penjaringan ikan yang ngawur membuat semua isi laut terangkat, seperti terumbu karang yang akhirnya hanya menjadi bangkai di daratan. Sedangkan itu salah satu habitat mereka, tempat ikan berkembang biak,” ujar Erfansjah, CEO WWF-Indonesia. Erfansjah menambahkan bahwa kondisi laut tanah air belum terlambat untuk diselamatkan.!break!
Peristiwa ini merupakan tantangan yang dihadapi pemerintah dalam mewujudkan kembali kejayaan Indonesia sebagai negara maritim. Suseno mengungkapkan bahwa aktivitas kelautan sudah seharusnya berkiblat pada Nawa Cita yaitu berfokus pada kedaulatan, keberlanjutan, dan kesejahteraan. Bersama dengan Living Blue Planet Report, WWF-Indonesia mengajak pelaku industri pariwisata bergabung dalam aksi Signing Blue sebagai tonggak untuk mengawali bisnis pariwisata yang bertanggung jawab.
Penandatanganan ini dilakukan bersama-sama oleh tiga organisasi besar pariwisata yakni PATA (Pasific Asia Travel Association), Triptus, dan Wallacea di hotel Le Meridien, Jakarta (16/9).Poernomo Siswoprasetijo, CEO PATA menyatakan bahwa untuk mendukung target pemerintah dalam mendatangkan 20 juta wisatawan, bahari sebagai sektor tereksotik di Indonesia harus dalam keadaan sehat. “Kami komit menyisihkan keuntungan untuk aktivitas konservasi dan semaksimal mungkin untuk mengembangkan potensi wisata dan ekonomi di setiap daerah pesisir,” ujar Poernomo.
Kementerian Kemaritiman dan Perikanan menyambut baik inisiatif ini dan turut berpartisipasi dalam pengawasannya. “Sesuai dengan Nawa Cita yang menjadi pedoman kita hingga tahun 2025. Sudah saatnya masyarakat Indonesia mengubah mindset bahwa negara ini tidak sekadar negeri bahari, melainkan negeri maritim yang dapat bersaing dalam bidang ekonomi dengan menonjolkan kekayaan baharinya,” tandas Suseno.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR