Arbain Rambey. Namanya tak asing di dunia fotografi Indonesia. Ia juga merupakan salah satu wartawan yang menguasai jurnalistik tulis dan fotografi jurnalistik sekaligus. Kemampuannya di bidang fotografi jurnalistik membuatnya dipercaya menjabat sebagai Redaktur Foto di Harian Kompas. Bagaimana awal mula perjuangan Arbain Rambey di dunia fotografi? Siapa sajakah sosok guru fotografi Arbain Rambey? Simak kisahnya berikut ini.
Ia pertama kali belajar fotografi saat duduk di kelas 1 Sekolah Menengah Pertama (SMP). Saat itu di sekolahnya ada ekstrakurikuler foto. Awalnya, ia hanya mengikuti dan belajar dari kakak kelasnya yang tengah mencuci cetak foto. Bisa dikatakan ia telah mempelajari cuci cetak foto hitam putih sebelum benar-benar belajar memotret.
“Guru fotografi pertama Saya namanya Gunawan. Kamera pertama yang saya gunakan untuk belajar fotografi dulu yaitu kamera analog Ricoh 500 GX, juga milik Gunawan,” ujar Arbain.
Arbain memulai karirnya sebagai wartawan tulis di Harian Kompas pada tahun 1990. Meskipun bekerja sebagai wartawan tulis, ia menaruh minat mendalam terhadap fotografi. Rasa ‘haus’ akan ilmu fotografi tersebut dipuaskannya dengan kerap mengunjungi bagian fotografi di Harian Kompas.
Ia belajar banyak mengenai ilmu fotografi jurnalistik pada Kartono Ryadi, Redaktur Foto Harian Kompas pada saat itu. Kartono Ryadi , yang memiliki sebutan atau inisial KR, merupakan jurnalis foto kawakan dengan berbagai bidang liputan: olahraga, human interest, lingkungan dan budaya. !break!
KR bukan hanya wartawan foto yang menguasai peralatan fotografi, Ia juga menyampaikan pesan melalui karya fotografis. Dua fotonya berhasil memenangkan World Press Photo Holland (1974-1978). Salah satu karyanya yang monumental, berjudul “Air Mata Emas”. Foto tersebut diambil saat srikandi bulu tangkis Indonesia, Susi Susanti berlinang air mata setelah mempersembahkan medali emas untuk Indonesia di arena Olimpiade Barcelona 1992.
Menurut Arbain, Kartono Ryadi merupakan fotografer yang luar biasa, hanya saja ia tak begitu cakap dalam membagikan ilmu fotografinya. Ia menambahkan, ada dua tipe guru: aktif dan pasif, Kartono Ryadi ini salah satu contoh guru pasif.
“Jadi saya gali terus ilmu fotografi dari beliau, kalau nggak digali ya nggak bakal keluar,” ujar alumni Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung (ITB) ini.
Melihat semangat kuat dari Arbain, akhirnya KR memberi Arbain kesempatan untuk mempraktekkan ilmu fotografi langsung di lapangan. Tak tanggung-tanggung, Ia langsung ditugaskan untuk memotret Sea Games di Manila tahun 1991. “Foto hasil liputan pertama Saya di Sea Games Manila itu dimuat di halaman depan Harian Kompas,” kenangnya.
Saat ini, selain menjabat sebagai Redaktur Foto di Harian Kompas, Arbain masih aktif mengajar di Universitas Indonesia dan Universitas Multimedia Nusantara. Ia juga kerap diundang mengisi lokakarya bertema fotografi.
Di tengah kemajuan teknologi dan kemudahan berbagi informasi maupun foto di dunia maya, Arbain berpendapat semua orang bisa menjadi fotografer. “Sekarang semua orang bisa motret, hampir semua orang punya kamera. Beberapa foto orang-orang yang diunggah di media sosial seperti facebook, terkadang bahkan lebih bagus daripada hasil karya wartawan foto,” tuturnya.
Menurutnya, fotografi di Indonesia berubah-ubah mengikuti tren. Saat kamera DSLR booming, orang berlomba-lomba untuk membeli dan memotret menggunakan DSLR. Ketika ponsel yang dilengkapi kamera dengan kemampuan fotografi mumpuni hadir, orang-orang pun mulai beralih. “Kebanyakan hanya mengikuti tren. Hanya mereka yang benar-benar mencintai fotografi yang akan bertahan,” tukas Arbain.
Ketika ditanya tentang pesan apa yang ingin disampaikan pada para fotografer pemula yang ingin mempelajari fotografi jurnalistik, Arbain Rambey mengatakan,“Banyak-banyaklah memotret, banyak-banyak lihat koran. Analisis foto-foto yang ada di koran. Sebab Belajar fotografi yang baik bukan dengan cara asal motret tanpa berpikir,” pungkasnya.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR