Nationalgeographic.co.id—Walaupun populer, banyak ahli yang meragukan efektivitas carbon offset atau kompensasi karbon dalam mengurangi emisi karbon dioksida.
Pasar kompensasi karbon ini sangat besar, diperkirakan mencapai 800 miliar dolar AS, tetapi seringkali gagal mencapai tujuannya dan bahkan berpotensi menimbulkan lebih banyak kerugian.
Dalam artikel yang ditulis oleh Seth Millstein untuk Sentient Media, seorang penulis dan musisi yang tinggal di Bay Area, dibahas mengenai efektivitas kompensasi karbon sebagai solusi perubahan iklim.
Apa Itu kompensasi karbon?
Kompensasi karbon adalah mekanisme di mana perusahaan atau individu yang menghasilkan emisi karbon dapat "mengimbangi" dampak emisi mereka dengan mendanai proyek-proyek yang mengurangi emisi di tempat lain.
Contohnya, perusahaan minyak dapat membayar proyek penanaman pohon di Amazon. Pohon menyerap karbon dioksida dari atmosfer, sehingga dianggap dapat menetralkan emisi perusahaan minyak tersebut.
Industri daging dan susu juga mulai menggunakan kompensasi karbon atau "inset" karbon sebagai alat pemasaran untuk produk "netral karbon" atau "ramah iklim".
Pasar karbon terbagi dua: pasar sukarela dan pasar kepatuhan. Pasar sukarela bersifat opsional, sedangkan pasar kepatuhan biasanya diikuti perusahaan untuk memenuhi peraturan emisi.
Secara teori, kompensasi karbon tampak sebagai solusi yang baik, terutama untuk sistem pangan yang menyumbang sepertiga emisi gas rumah kaca global, di mana produksi daging sapi menjadi penyumbang utama. Namun, dalam praktiknya, banyak masalah muncul yang membuat efektivitas kompensasi karbon dipertanyakan.
Mengapa kompensasi karbon bermasalah?
Ada tiga masalah utama dengan kompensasi karbon. Pertama, kompensasi karbon seharusnya bukan satu-satunya aksi iklim. Perusahaan harus mengurangi emisi mereka sendiri, bukan hanya mengandalkan kompensasi.
Baca Juga: Peneliti Ingin Hisap Karbon dari Laut, Agar Bisa Menyerap Lebih Banyak dari Udara?
KOMENTAR