Benar saja, Rubama terhadang tebing terjal di sisi kanan. Dia mencoba berbalik arah ketika saya berkemungkinan mendapat jalan yang lebih nyaman untuk rombongan kami di sisi kiri. Saya mencoba mematahkan beberapa ranting yang menghalangi jalan. Tapi saya masih harus memastikan agar di depan tidak ada kendala.!break!
Langkah saya terhenti seketika di depan saya melihat samar-samar sebuah gundukan bewarna hitam dan kuning. Saya mulai curiga, apakah ini salah satu predator di wilayah itu? Ular Phyton. Cahaya matahari yang terhalang kanopi membuat suasananya semakin samar. Rubama membantu saya memerhatikan gundukan itu. Dia mengeluarkan kamera karena mata telanjang kami tak cukup mampu melihat objek di depan, gundukan itu persis berada di bawah pokok pohon yang harus kami lewati.
Untungnya, itu hanyalah batang kayu lapuk. Saya menarik napas lega. Rombongan kami yang masih berada di belakang akhirnya dapat kembali ke jalur pendakian. Arung adalah yang paling berbagga hati dengan ditemukannya kembali jalur itu, berkat tongkat sihir dari bulu rangkong.
Saya menceritakan pengalaman itu kepada polisi hutan sesampainya kami di pos penjagaan di gerbang utama. Mereka luput memerhatikan pohon tumbang yang mengganggu jalur pendakian. Pekerjaan rumah bagi pengelola untuk menjaga kenyamana pengunjung.
Tapi saya juga megapresiasi pengelola karena memberikan rambu jalan yang cukup tegas. Mereka menyangkutkan pita warna merah di sepanjang jalur pendakian. Ini memudahkan agar pengunjung tidak tersesat. Selain itu, di beberapa tempat yang cukup terjal, pengelola memasang pegangan tangan dari kayu, cukup nyaman sebagai pegangan.
Di zona rimba, Arung juga merasakan sensasi berjalan dibawah akar pohon. Pohon dari jenis beringin jamak di sini. Akar gantung dari batang utama menembus tanah dan memberikan rongga yang cukup lebar bagi pengunjung untuk melewatinya. Di dalam rongga, pengunjung lagi-lagi harus berhati-hati dengan keberadaa predator. Isteri saya, Elfa memastikan jika jalur itu aman sebelum dilalui Arung.
Di dalam rongga akar, cahaya terasa kurang lantaran terhalang tajuk pohon. Angin yang berembus melewati rongga menambah sensesasi suhu yang lebih dingin. Tempat berpijakpun harus dicermati ketika melewatinya, karena dipenuhi akar dengan sedikit lantai tanah. Jika tidak berhati-hati, bisa-bisa kaki terperosok ke dalam rongga akar.
Rombongan saya melanjutkan perjalanan dengan mengunjungi air terjun keesokan harinya. Rubama yang pernah berkunjung ke air terjun itu menjadi penunjuk jalan. Sesungguhnya pengelola Tahura menyediakan pemandu dan mengharuskan pengunjung menggunakan jasa mereka jika ingin menjajal perjalanan di alam bebas di wilayah itu. Tapi saya memilih untuk tidak bersama mereka. Ini diperbolehkan asal pengunjung bisa bertanggung jawab atas keselamatannya sendiri.!break!
Anak sulung saya, Azura (10 tahun) dan Ibunya Elfa memimpin perjalanan menuju air terjun. Kami harus melewati satu punggungan bukit yang penuh dengan tumbuhan pisang. Agaknya lokasi ini telah diserobot warga karena perladangan mereka berada persis di belakang gapura selamat datang Tahura PMI. Salah seorang polisi hutan membenarkan dugaan saya itu. Tapi konflik ini masih terus berlangusung dengan negosiasi yang alot. Warga beralasan ladang itu sudah mereka kelola bertahun-tahun yang lalu. Pihak Tahura mengakui ketika terjadi konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah RI, lahan tersebut seolah merupakan lahan terlantar tanpa pengelola. Pada saat itulah banyak anggota masyarakat yang menanami wilayah itu.
Kami menuruni punggungan bukit yang cukup terjal. Berbeda dengan perjalanan di hari pertama, tutupan kanopi sangat jarang, kami terpanggang terik matahari.
Azzura merintih saat matahari benar-benar terasa membakar kulit. Tapi kami tak boleh lama-lama berhenti karena nyamuk mengikuti sepanjang perjalanan. Gigitannya menyisakan benjolan merah yang terasa panas dan gatal. Sementara, bekas gigitan nyamuk yang tersisa di zona rimba sehari yang lalu masih membekas. Ini terasa bagai ladang penyiksaan, kaki bukit masih jauh di depan.
Air terjun Tahura, kami temukan setelah mencapai kaki bukit dan meyeberangi dua sungai kecil. Ada gairah lain yang muncul saat suara air bergemuruh terdengar. Langkah kaki tanpa perintah semakin cepat, mungkin tak sabar lagi ingin berendam setelah hawa panas menerpa sepanjang penurunan di ladang pisang.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR