Saya terpana ketika menyaksikan terjunan air yang cantik. Air terjun itu tak terlalu besar, tapi undakan batu membuat air terjatuh dengan pola yang indah. Rombongan saya tak perlu waktu lama untuk berada di bawah terjunan air. Barang bawaan dan sepatu tergeletak begitu saja, mereka sudah berhamburan ke dalam air dan basah.
Kami sudah menyiapkan makan siang dari mula perjalanan, jadi tak perlu memasak lagi sesampai di lokasi ini. Tiga jam perjalanan terbalaskan dengan suasana air terjun yang sejuk. Ditambah lagi dengan bekal makanan enak. Ini benar-benar seperti keluar dari dalam tungku pembakaran lantas masuk kedalam lemari pendingin.!break!
Membayangkan perjalanan pulang adalah hal yang tak mampu kami lakukan. Ingin rasanya terus berada di pangkuan air terjun itu. Tapi kami tak membawa peralatan untuk menginap, sehingga perjalanan kebali adalah sejenis siksaan baru buat rombongan saya. Untungnya Emma, sahabat kami yang bule Australia mengajarkan sedikit ilmu yoga sehingga perjalanan berikutnya terasa agak ringan.
Kami sudah membayangkan akan kembali menginap di rumah pohon. Rumah yang sudah kami inapi di malam sebelumnya.
Tahura PMI menyediakan dua buah rumah pohon. Satu rumah berada dekat denga pos penjagaan di gerbang masuk Tahura. Rumah ini terdiri dari beberapa bagian, selain tangga untuk naik, ada dua bangunan utama. Salah satu bangunan utama berfungsi untuk tempat santai, satunya lagi berfungsi mirip dengan menara pengamat. Tapi rumah pohon yang ini tidak bisa dijadikan tempat menginap karena tidak ditutupi dinding.
Kami memilih rumah pohon kedua yang terletak agak menjorok ke dalam hutan. Bentuknya sama dengan rumah pertama, tapi ruang utama dilengkapi dengan dinding dan jendela. Membuat kami lebih nyaman menempatinya ketika malam tiba.
Rumah pohon disangga oleh pohon pinus berukuran besar. Pengelola sengaja tak menempatkannya lebih tinggi karena takut diterpa angin kencang. Walau rumah pohon ini lebih mirip dengan sangkar burung yang disangkutkan diatas pohon, namun sensasinya terasa berbeda bila dibandingkan dengan menginap di tenda. Karena berlantai papan, rumah ini tak cukup empuk untuk tidur. Kami membentangkan matras tipis untuk menyangga tubuh dari gesekan papan yang kasar.
Di tengah rumah, tiang dari pohon pinus penyangga berdiri dengan kokoh. Kulit pinus yang kasar berfungsi lain sebagai gantungan pakaian kotor. Beberapa peralatan berkemah lainnya juga ikut tersangkut di tiang utama itu. Kami merebahkan diri di bawahnya. Ini memberikan nuansa lain dari kebiasaan tidur di kamar dengan berbagai perabotannya.
Saya membiarkan jendela dalam keadaan terbuka. Memberikan keleluasaan untuk udara keluar masuk. Dengan begitu, suasana hutan tetap masih dapat kami nikmati. Sesekali kami melongok ke luar jendela ketika mendengar suara-suara yang tak biasa, utamanya adalah ketika mendengar suara kicauan burung.!break!
Selintas saya melihat ayam hutan berkelebat tak jauh dari rumah pohon. Saya tahu keberadaan ayam hutan di lokasi itu karena di pagi sebelumnya suara kokokannya terdengar dengan jelas. Tapi sayang, rombongan saya tak lantas dapat menikmati sosok si ayam hutan karena sudah melarikan diri masuk ke dalam rimbunnya pepohonan.
Rumah pohon memberikan pengalaman lain menginap di alam bebas. Selain berbeda dengan kondisi rumah pada umumnya, menginap di rumah pohon juga berbeda dengan menginap di tenda. Disini, kami tak perlu khawatir dengan kedatangan hewan predator yang jamak berkeliaran di dalam hutan. Selain itu, rumah pohon juga memberikan kenyamanan yang jauh lebih baik, terutama ketika hujan dan angin kencang.
Di malam hari, kami masih berharap awan tak datang menutupi langit. Dengan demikian, kami bisa melakukan permainan menghitung bintang. Permainan ini, walau tak pernah ada yang tepat menebak jumlah bintang di langit tapi setidaknya memberikan pelajaran bagi kami tentang bentuk-bentuk rasi bintang.
Namun, dua malam kami hanya menyisakan harapan untuk dapat melihat bintang. Awan terus saja menghalangi pandangan ke langit. Padahal, kami berharap awan datang di siang hari sehingga meneduhkan perjalanan, tapi justru kedatangannya terjadi malam hari. Sebuah harapan yang jauh dari kenyataan.
Bulan Agustus 2015 merupakan bulan dimana banyak asteroid melintas di orbit bumi. Saya dan Azzura sudah membayangkan akan menyaksikan hujan meteor selama dua malam kami menginap di rumah pohon. Ini menambah daftar kekecewaan kami karena tak bisa menyaksikan bintang jatuh itu secara langusung.
Beragam jenis serangga malam berdatangan ke rumah pohon lantaran diterangi cahaya lampu. Ini adalah kebiasaan umum serangga. Kami cukup terbantu dengan memerhatikannnya lebih dekat. Permainan ini mungkin sama dengan permainan menghitung bintang yang urung kami lakukan.
Saya membiarkan Arung dan Azzura bermain menikmati suasana alami di rumah ini. Sore hari, setelah perjalanan yang melelahkan, mereka memainkan musik untuk mengusir rasa bosan. Kadang permainan musik mereka terhenti saat burung-burung melintas. Ketika lain, mereka juga terlena dalam hening lantaran larut dalam imajinasinya saat membaca buku.
Tahura PMI juga menyediakan fasilitas permainan anak-anak di area utama pengunjung. Ini lebih mirip suasana taman kanak-kanak dengan permainan ayunan, jungkat jungkit, papan seluncuran dan lainnya. Bagi pengunjung yang tertarik dengan anggrek, Tahura PMI memiliki kebun anggrek yang berisikan beragam tanaman anggrek yang ada di wilayah itu.
Saya menikmati hiburan ringan ini sembari bercakap-cakap dengan beberapa polisi hutan yang sedang bertugas piket. Letaknya yang tak jauh dari pusat kota di Banda Aceh memberikan kemudahan akses. Apa lagi pengelola sudah berkomitmen menjadikan kawasan itu sebagai bagian dari kawasan wisata berkelanjutan. Banyak pekerjaan rumah yang harus mereka selesaikan untuk dapat mengelola kawasan agar tetap lestari dan memberikan manfaat besar.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR