Suara angin mendesir halus seperti alunan nada yang tak beraturan. Tiupannya konsisten, terasa harmonis dengan kicau burung dan gemercik air. Pucuk-pucuk pinus melambai seperti tengah mempersilahkan kedatangan rombongan saya. Selamat datang di Taman Hutan Raya Pocut Meurah Intan (Tahura PMI), Aceh.
Jalan setapak menanjak, berundak dengan bebatuan yang disusun rapi. Ini memudahkan pengunjung untuk mencapai ketinggian. Jalan itu terasa cukup aman untuk pejalan yang tidak berpengalaman berjalan di dalam hutan sekalipun. Di kiri kanan jalan, pohon pinus berjejer menyajikan suasana alami.
Saya menanjak sambil sesekali melemparkan pandangan. Di balik cabang pinus yang besar, burung-burung beraneka jenis mengintip. Kadang mereka harus menghindar lantaran banyak monyet yang turut mencari makan di pucuk-pucuk pohon.
Beberapa pengunjung berpapasan dengan rombongan kami. Kebanyakan mereka hanya menikmati suasana hutan pinus yang sejuk itu. Tanpa menunggu terlalu lama, rombongan saya langsung menuju jalur pendakian yang khusus disediakan pengelola untuk menjajal perjalanan di dalam zona rimba.
Tahura PMI menyediakan beragam fasilitas bagi para pengunjung. Jalur hutan adalah salah satu yang menarik minat saya untuk mencoba. Anak saya, Arung (7 tahun) memimpin pendakian itu. Dia tampak bahagia karena tidak lagi perlu bantuan seperti pendakiannya ke Gunung Tujuh di Jambi beberapa bulan yang lalu.
Lantaran jalan di zona rimba sudah cukup lebar, dia lebih leluasa menikmati pendakian itu. Saya membiarkannya berjalan sendiri, tapi masih cukup dekat untuk disusul. Saya hanya menjaga agar perjalanannya tidak terganggu satwa predator di wilayah itu. Menurut Kepala Tahura PMI, Muhammad Daud, predator utama adalah beruang madu, ular Phyton dan Elang.!break!
Perjalanan di bawah kanopi hutan memberikan penyegaran yang baik bagi kami. Beragam pepohonan sudah mulai ditandai untuk diberi nama, baik nama lokal maupun nama latin. Ini membantu pengunjung yang ingin belajar tentang berbagai jenis flora.
Saya sampai di puncak jalur pendakian setelah lebih dari satu jam mendaki. Waktu istirahat yang cukup panjang di puncak memberikan rombongan kami kesempatan untuk mengamati burung. Enam pasang rangkong papan lalu lalang di atas pepohonan besar yang ada di puncak itu. Mereka berkelebat berpasangan. Terdengar suara angin gaduh ketika burung ini melintas persis di atas kanopi dekat pemberhentian kami.
Saya mencari-cari dimana rangkong itu bersarang di sela waktu istirahat kami. Saya memaksimalkan waktu istirahat saja walau sadar ini adalah pekerjaan sulit. Saya curiga mereka bersarang di beberapa pohon besar yang ada disekitar itu. Hingga waktu istirahat selesai, saya tak kunjung menemukan sarang mereka. Tapi setidaknya saya sudah paham lokasi dimana mereka bersarang. Ada harapan besar di batin saya agar mereka tetap meneruskan keturunannya tanpa gangguan.
Tak berapa jauh, sepasang rangkong hinggap dan makan. Buah-buah hutan tersedia cukup bagi mereka. Beberapa patahan dahan segar tempat mereka singgah jatuh di jalur pendakian. Arung bahkan mendapat hadiah sebilah bulu ekor dari jenis ini. Bulu itu tergeletak begitu saja di pinggir jalur pendakian, dia dengan mudah menemukannya.
Tanpa menunggu lama, Arung sudah menjadikan bulu burung itu sebagai tongkat sihir yang disambung dengan sebilah ranting. Sepanjang jalan, tongkat sihir itu telah menjadi mantra untuk menambah kekuatannya. Pun ketika kami kehilangan jalur lantaran ada pohon tumbang.
“Jalan ke kiri!” teriak Arung seraya mengayunkan tongkat sihirnya.
Rekan pejalan kami, seorang pengamat burung, Rubama mencoba mencari jalan keluar dari jebakan pohon tumbang itu. Sementara saya mengikuti mantra Arung dengan menjajal jalur sebelah kiri yang lebih landai.
Benar saja, Rubama terhadang tebing terjal di sisi kanan. Dia mencoba berbalik arah ketika saya berkemungkinan mendapat jalan yang lebih nyaman untuk rombongan kami di sisi kiri. Saya mencoba mematahkan beberapa ranting yang menghalangi jalan. Tapi saya masih harus memastikan agar di depan tidak ada kendala.!break!
Langkah saya terhenti seketika di depan saya melihat samar-samar sebuah gundukan bewarna hitam dan kuning. Saya mulai curiga, apakah ini salah satu predator di wilayah itu? Ular Phyton. Cahaya matahari yang terhalang kanopi membuat suasananya semakin samar. Rubama membantu saya memerhatikan gundukan itu. Dia mengeluarkan kamera karena mata telanjang kami tak cukup mampu melihat objek di depan, gundukan itu persis berada di bawah pokok pohon yang harus kami lewati.
Untungnya, itu hanyalah batang kayu lapuk. Saya menarik napas lega. Rombongan kami yang masih berada di belakang akhirnya dapat kembali ke jalur pendakian. Arung adalah yang paling berbagga hati dengan ditemukannya kembali jalur itu, berkat tongkat sihir dari bulu rangkong.
Saya menceritakan pengalaman itu kepada polisi hutan sesampainya kami di pos penjagaan di gerbang utama. Mereka luput memerhatikan pohon tumbang yang mengganggu jalur pendakian. Pekerjaan rumah bagi pengelola untuk menjaga kenyamana pengunjung.
Tapi saya juga megapresiasi pengelola karena memberikan rambu jalan yang cukup tegas. Mereka menyangkutkan pita warna merah di sepanjang jalur pendakian. Ini memudahkan agar pengunjung tidak tersesat. Selain itu, di beberapa tempat yang cukup terjal, pengelola memasang pegangan tangan dari kayu, cukup nyaman sebagai pegangan.
Di zona rimba, Arung juga merasakan sensasi berjalan dibawah akar pohon. Pohon dari jenis beringin jamak di sini. Akar gantung dari batang utama menembus tanah dan memberikan rongga yang cukup lebar bagi pengunjung untuk melewatinya. Di dalam rongga, pengunjung lagi-lagi harus berhati-hati dengan keberadaa predator. Isteri saya, Elfa memastikan jika jalur itu aman sebelum dilalui Arung.
Di dalam rongga akar, cahaya terasa kurang lantaran terhalang tajuk pohon. Angin yang berembus melewati rongga menambah sensesasi suhu yang lebih dingin. Tempat berpijakpun harus dicermati ketika melewatinya, karena dipenuhi akar dengan sedikit lantai tanah. Jika tidak berhati-hati, bisa-bisa kaki terperosok ke dalam rongga akar.
Rombongan saya melanjutkan perjalanan dengan mengunjungi air terjun keesokan harinya. Rubama yang pernah berkunjung ke air terjun itu menjadi penunjuk jalan. Sesungguhnya pengelola Tahura menyediakan pemandu dan mengharuskan pengunjung menggunakan jasa mereka jika ingin menjajal perjalanan di alam bebas di wilayah itu. Tapi saya memilih untuk tidak bersama mereka. Ini diperbolehkan asal pengunjung bisa bertanggung jawab atas keselamatannya sendiri.!break!
Anak sulung saya, Azura (10 tahun) dan Ibunya Elfa memimpin perjalanan menuju air terjun. Kami harus melewati satu punggungan bukit yang penuh dengan tumbuhan pisang. Agaknya lokasi ini telah diserobot warga karena perladangan mereka berada persis di belakang gapura selamat datang Tahura PMI. Salah seorang polisi hutan membenarkan dugaan saya itu. Tapi konflik ini masih terus berlangusung dengan negosiasi yang alot. Warga beralasan ladang itu sudah mereka kelola bertahun-tahun yang lalu. Pihak Tahura mengakui ketika terjadi konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah RI, lahan tersebut seolah merupakan lahan terlantar tanpa pengelola. Pada saat itulah banyak anggota masyarakat yang menanami wilayah itu.
Kami menuruni punggungan bukit yang cukup terjal. Berbeda dengan perjalanan di hari pertama, tutupan kanopi sangat jarang, kami terpanggang terik matahari.
Azzura merintih saat matahari benar-benar terasa membakar kulit. Tapi kami tak boleh lama-lama berhenti karena nyamuk mengikuti sepanjang perjalanan. Gigitannya menyisakan benjolan merah yang terasa panas dan gatal. Sementara, bekas gigitan nyamuk yang tersisa di zona rimba sehari yang lalu masih membekas. Ini terasa bagai ladang penyiksaan, kaki bukit masih jauh di depan.
Air terjun Tahura, kami temukan setelah mencapai kaki bukit dan meyeberangi dua sungai kecil. Ada gairah lain yang muncul saat suara air bergemuruh terdengar. Langkah kaki tanpa perintah semakin cepat, mungkin tak sabar lagi ingin berendam setelah hawa panas menerpa sepanjang penurunan di ladang pisang.
Saya terpana ketika menyaksikan terjunan air yang cantik. Air terjun itu tak terlalu besar, tapi undakan batu membuat air terjatuh dengan pola yang indah. Rombongan saya tak perlu waktu lama untuk berada di bawah terjunan air. Barang bawaan dan sepatu tergeletak begitu saja, mereka sudah berhamburan ke dalam air dan basah.
Kami sudah menyiapkan makan siang dari mula perjalanan, jadi tak perlu memasak lagi sesampai di lokasi ini. Tiga jam perjalanan terbalaskan dengan suasana air terjun yang sejuk. Ditambah lagi dengan bekal makanan enak. Ini benar-benar seperti keluar dari dalam tungku pembakaran lantas masuk kedalam lemari pendingin.!break!
Membayangkan perjalanan pulang adalah hal yang tak mampu kami lakukan. Ingin rasanya terus berada di pangkuan air terjun itu. Tapi kami tak membawa peralatan untuk menginap, sehingga perjalanan kebali adalah sejenis siksaan baru buat rombongan saya. Untungnya Emma, sahabat kami yang bule Australia mengajarkan sedikit ilmu yoga sehingga perjalanan berikutnya terasa agak ringan.
Kami sudah membayangkan akan kembali menginap di rumah pohon. Rumah yang sudah kami inapi di malam sebelumnya.
Tahura PMI menyediakan dua buah rumah pohon. Satu rumah berada dekat denga pos penjagaan di gerbang masuk Tahura. Rumah ini terdiri dari beberapa bagian, selain tangga untuk naik, ada dua bangunan utama. Salah satu bangunan utama berfungsi untuk tempat santai, satunya lagi berfungsi mirip dengan menara pengamat. Tapi rumah pohon yang ini tidak bisa dijadikan tempat menginap karena tidak ditutupi dinding.
Kami memilih rumah pohon kedua yang terletak agak menjorok ke dalam hutan. Bentuknya sama dengan rumah pertama, tapi ruang utama dilengkapi dengan dinding dan jendela. Membuat kami lebih nyaman menempatinya ketika malam tiba.
Rumah pohon disangga oleh pohon pinus berukuran besar. Pengelola sengaja tak menempatkannya lebih tinggi karena takut diterpa angin kencang. Walau rumah pohon ini lebih mirip dengan sangkar burung yang disangkutkan diatas pohon, namun sensasinya terasa berbeda bila dibandingkan dengan menginap di tenda. Karena berlantai papan, rumah ini tak cukup empuk untuk tidur. Kami membentangkan matras tipis untuk menyangga tubuh dari gesekan papan yang kasar.
Di tengah rumah, tiang dari pohon pinus penyangga berdiri dengan kokoh. Kulit pinus yang kasar berfungsi lain sebagai gantungan pakaian kotor. Beberapa peralatan berkemah lainnya juga ikut tersangkut di tiang utama itu. Kami merebahkan diri di bawahnya. Ini memberikan nuansa lain dari kebiasaan tidur di kamar dengan berbagai perabotannya.
Saya membiarkan jendela dalam keadaan terbuka. Memberikan keleluasaan untuk udara keluar masuk. Dengan begitu, suasana hutan tetap masih dapat kami nikmati. Sesekali kami melongok ke luar jendela ketika mendengar suara-suara yang tak biasa, utamanya adalah ketika mendengar suara kicauan burung.!break!
Selintas saya melihat ayam hutan berkelebat tak jauh dari rumah pohon. Saya tahu keberadaan ayam hutan di lokasi itu karena di pagi sebelumnya suara kokokannya terdengar dengan jelas. Tapi sayang, rombongan saya tak lantas dapat menikmati sosok si ayam hutan karena sudah melarikan diri masuk ke dalam rimbunnya pepohonan.
Rumah pohon memberikan pengalaman lain menginap di alam bebas. Selain berbeda dengan kondisi rumah pada umumnya, menginap di rumah pohon juga berbeda dengan menginap di tenda. Disini, kami tak perlu khawatir dengan kedatangan hewan predator yang jamak berkeliaran di dalam hutan. Selain itu, rumah pohon juga memberikan kenyamanan yang jauh lebih baik, terutama ketika hujan dan angin kencang.
Di malam hari, kami masih berharap awan tak datang menutupi langit. Dengan demikian, kami bisa melakukan permainan menghitung bintang. Permainan ini, walau tak pernah ada yang tepat menebak jumlah bintang di langit tapi setidaknya memberikan pelajaran bagi kami tentang bentuk-bentuk rasi bintang.
Namun, dua malam kami hanya menyisakan harapan untuk dapat melihat bintang. Awan terus saja menghalangi pandangan ke langit. Padahal, kami berharap awan datang di siang hari sehingga meneduhkan perjalanan, tapi justru kedatangannya terjadi malam hari. Sebuah harapan yang jauh dari kenyataan.
Bulan Agustus 2015 merupakan bulan dimana banyak asteroid melintas di orbit bumi. Saya dan Azzura sudah membayangkan akan menyaksikan hujan meteor selama dua malam kami menginap di rumah pohon. Ini menambah daftar kekecewaan kami karena tak bisa menyaksikan bintang jatuh itu secara langusung.
Beragam jenis serangga malam berdatangan ke rumah pohon lantaran diterangi cahaya lampu. Ini adalah kebiasaan umum serangga. Kami cukup terbantu dengan memerhatikannnya lebih dekat. Permainan ini mungkin sama dengan permainan menghitung bintang yang urung kami lakukan.
Saya membiarkan Arung dan Azzura bermain menikmati suasana alami di rumah ini. Sore hari, setelah perjalanan yang melelahkan, mereka memainkan musik untuk mengusir rasa bosan. Kadang permainan musik mereka terhenti saat burung-burung melintas. Ketika lain, mereka juga terlena dalam hening lantaran larut dalam imajinasinya saat membaca buku.
Tahura PMI juga menyediakan fasilitas permainan anak-anak di area utama pengunjung. Ini lebih mirip suasana taman kanak-kanak dengan permainan ayunan, jungkat jungkit, papan seluncuran dan lainnya. Bagi pengunjung yang tertarik dengan anggrek, Tahura PMI memiliki kebun anggrek yang berisikan beragam tanaman anggrek yang ada di wilayah itu.
Saya menikmati hiburan ringan ini sembari bercakap-cakap dengan beberapa polisi hutan yang sedang bertugas piket. Letaknya yang tak jauh dari pusat kota di Banda Aceh memberikan kemudahan akses. Apa lagi pengelola sudah berkomitmen menjadikan kawasan itu sebagai bagian dari kawasan wisata berkelanjutan. Banyak pekerjaan rumah yang harus mereka selesaikan untuk dapat mengelola kawasan agar tetap lestari dan memberikan manfaat besar.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR