Terapi cuci otak atau brainwash yang diperkenalkan dokter Spesialis Radiologi Terawan Agus Putranto sebagai terapi penyakit stroke menuai kontroversi. Para ahli saraf berpendapat, terapi cuci otak tidak dapat mengobati penyakit stroke karena alat yang digunakan sebenarnya untuk mendiagnosis.
Alat yang dipakai dalam terapi cuci otak adalah Digital Substracion Angiography (DSA).
“Brainwash itu bukan istilah kedokteran. Metode yang digunakan DSA itu alat diagnostik, sama seperti alat rongen. Jadi bukan untuk terapi,” ujar Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi) Hasan Machfoed dalam seminar Neurointervensi di Jakarta, Kamis (17/12/2014).
Hasan menjelaskan, DSA merupakan alat diagnosis kelainan pembuluh darah di otak yang sangat akurat. Prosedur DSA menggunakan kontras untuk memperjelas gambaran pembuluh darah dan obat heparin untuk mencegah pembekuan darah selama prosedur DSA dilakukan.
Melalui DSA, kelainan pembuluh darah di otak bisa diketahui. Setelah itu pasien akan diberi terapi atau pengobatan yang sesuai dengan kelainannya. Jadi, bukan metode DSA yang digunakan untuk terapi stroke.
Menurut Hasan, untuk menggunakan dasar DSA sebagai alat terapi stroke tentu perlu penelitian dan bukti ilmiah terlebih dahulu. Tidak bisa sembarangan diterapkan untuk mengobati stroke pada manusia.
“Dari segi etika kedokteran tidak dibenarkan. Kode etik kita sangat berat karena berhubungan dengan kesehatan manusia. Untuk penelitian harus dicoba dulu pada hewan. Pokoknya sangat ketat karena taruhannya nyawa,” jelas Hasan.
Dokter Spesialis Saraf Fritz Sumantri Usman menambahkan, DSA sudah digunakan sejak lama sebagai alat diagnostik. Dunia internasional pun hingga saat ini hanya menyetujui DSA sebagai alat diagnostik, bukan untuk pencegahan maupun pengobatan.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR