Ekspansi usaha pertambakan udang di kawasan pesisir Provinsi Lampung semakin meluas dari tahun ke tahun yang berdampak serius pada kondisi hutan mangrove. Kebijakan pembukaan tambak baru telah mengubah bentang hutan mangrove dan akan menimbulkan kerugian sosial yang jauh lebih besar.
Saat ini, lebih dari 70 persen hutan bakau di Lampung rusak parah. Dari semula seluas 160.000 ha hutan bakau yang ada, lebih dari 136.000 ha telah rusak parah. Hutan bakau yang tersisa diperkirakan hanya 1.700 ha, namun nasib hutan mangrove yang tersisa itu juga kritis.
Mukri Friatna, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Lampung, menyebutkan pembukaan pertambakan baru di Lampung terus berlanjut, di antaranya di kawasan pesisir di Bakauheni (Lampung Selatan) wilayah Padang cermin (Pesawaran) dan wilayah Lampung Barat. Belum ada data yang dapat dikonfirmasi apakah pembukaan area tambah itu berizin atau tidak.
Hal serupa dikemukakan oleh Warsito, Kadis Kehutanan Provinsi Lampung, dia menyatakan lebih 50 persen hutan bakau di Provinsi Lampung mengalami kerusakan. Menurutnya, kerusakan hutan bakau seperti di Kabupaten Lampung Selatan semakin mengkhawatirkan. Alih fungsi bakau menjadi lahan tambak ini akan memperburuk ekosistem dan kelestarian biota-biota laut yang hidup dan bernaung di hutan bakau itu.
Perubahan fungsi hutan bakau menjadi pertambakan ikan dan udang, menjadi penyebab utama kehancuran hutan bakau di pesisir pantai Lampung, seperti yang terjadi di Tanggamus. Tambak udang yang bangkrut dan tidak beroperasi lagi, akan berpotensi menjadi sarang nyamuk malaria.
Demikian pula, rusaknya hutan mangrove dapat meningkatkan kerentanan masyarakat pesisir atas risiko badai dan gelombang tinggi. Kerusakan mangrove juga akan mengakibatkan semakin berkurangnya biota laut yang ada di sekitar hutan itu sendiri.
Hilangnya satu hektar lahan bakau berarti akan berkurangnya lima ratus hingga seribu kilogram potensi tangkapan ikan yang ada. Apabila pengrusakan hutan bakau terus terjadi maka kemungkinan ikan yang berada di wilayah tersebut akan habis.
Menanggapi hal tersebut, untuk itu perlu dilakukan sosialisasi baik kepada masyarakat maupun pengusaha tambak di sekitar wilayah Pesisir Lampung, khusunya wilayah Lampung Selatan, Pesawaran dan Lampung Barat.!break!
Menurut penulis, solusi dapat dilakukan jika terdapat sebuah forum diskusi sebagai wadah masyarakat dalam menyampaikan aspirasinya dan konsolidasi penggerak pelaksanaan pengelolaan wilayah pesisir tersebut. Hal ini penting untuk menyosialisasikan hukum dan undang-undang yang terkait dengan wilayah pesisir termasuk Undang-Undang nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Masyarakat perlu diajak untuk turut berpartisipasi dalam pengelolaan, perbaikan dan peningkatan kesadaran. Pengusaha tambak pun perlu dilibatkan untuk mencari solusi dan cara budidaya yang tidak merusak lingkungan.
Langkah Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Perbaikan Hutan Mangrove
Proses berkembangnya suatu program digambarkan sebagai satu lingkaran yang diawali dengan identifikasi dan analisis terhadap isu-isu lokal wilayah pesisir. Langkah tersebut kemudian diikuti oleh menetapkan tujuan dan mempersiapkan rencana kebijakan dan program-program aksi.
Pada tahap identifikasi dan analisis terhadap isu-isu lokal wilayah pesisir ini, diharapkan akan didapatkan peta permasalahan pesisir yang sangat krusial, secara khusus permasalahan kerusakan hutan mangrove di Provinsi Lampung.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR