Dr Carolyn Graves-Brown, dari Egypt Center mengatakan kolaborasi antara insinyur, arkeolog, ahli biologi, dan ahli Mesir Kuno menunjukkan nilai peneliti dari berbagai subjek yang bekerja bersama.
Tim menemukan gigi mumi kucing yang belum timbul tersembunyi di dalam tulang rahang. Hal ini menunjukkan bahwa kucing itu adalah anak kucing berusia kurang dari lima bulan. Pemisahan tulang belakangnya menunjukkan kemungkinan telah dicekik.
Bukan hanya kucing, hewan lainnya dari koleksi Egypt Center yang setidaknya berusia 2.000 tahun dilakukan pemindaian 3D. Hewan-hewan itu ialah burung dan ular kobra. Mereka juga diduga diternakkan untuk dijadikan persembahan kepada para dewa dalam bentuk mumi.
Baca Juga: Mengapa Para Firaun Mesir Kuno Berhenti Mendirikan Piramida?
Hasilnya, pengukuran tulang virtual menunjukkan bahwa burung itu paling mirip dengan alap-alap Eurasia. Analisis patah tulang pada ular kobra juga menunjukkan bahwa ular itu dibunuh dengan cara dicambuk ke tanah atau dinding.
Temuan ini sesuai dengan apa yang telah diyakini oleh Egypt Center tentang ritual mumifikasi hewan. Orang Mesir kuno membuat mumi hewan dan juga manusia, termasuk kucing, ibis, elang, ular, buaya, dan anjing.
Kadang-kadang mereka dikubur bersama pemiliknya, atau sebagai persediaan makanan untuk kehidupan setelah kematian, tetapi mumi hewan yang paling umum adalah persembahan, yang dibeli oleh pengunjung kuil untuk dipersembahkan kepada para dewa.
Mereka dibiakkan atau ditangkap oleh penjaga dan kemudian dibunuh dan dibalsem oleh pendeta kuil. Diyakini bahwa sebanyak 70 juta mumi hewan diciptakan dengan cara ini.
Sebagai informasi, pembuatan mumi binatang di budaya Mesir kuno berbeda dengan tujuannya dengan mumi manusia. Jika binatang dimumikan sebagai kurban/ persembahan kepada para dewa, maka manusia dimumikan agar mampu kembali bangkit di kehidupan setelah kematian.
Baca Juga: Arkeolog Singkap Kenapa Sebagian Mumi Hewan di Mesir Tidak Ada Isinya?
Source | : | Live Science,BBC |
Penulis | : | Hanny Nur Fadhilah |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR