Hardikan itu menyentak saat siang bolong. Air muka ibu bercaping lebar itu mengguratkan kemarahan.
“Tadi motret saya ya?” ia bertanya, ketus.
“Saya memotret pantai….” Tenggorokan terasa sesak, belum usai bicara, dia telah memenggal penjelasan saya.
“Itu tidak etis, seharusnya minta izin dulu. Saya tidak suka. Saya sudah 34 tahun di sini. Tanya orang-orang di sini, semua kenal saya.”
Sembari berjalan cepat di bawah sengatan Matahari, dia tak henti menghamburkan rasa kesal. Beberapa foto saya hapus untuk meredam amarahnya. Dia sempat melirik ke arah layar kamera. Gelap, cahaya matahari mengalahkan tampilan di layar. “Kalau tidak dihapus, nggak slamet sampeyan.”
Masih memendam mengkal hati, dia kabur dengan sepeda motor yang suaranya merobek keheningan hutan pantai. Kawanan monyet panik berlarian ke puncak pohon.
Ucapan bagaikan doa. Kalimat terakhir perempuan paruh baya ini membuat saya grogi. Saya telah mengenal keangkeran Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi, Jawa Timur, belasan tahun silam.
Peristiwa di Pantai Triangulasi itu adalah pengalaman aneh kedua. Saya pertama kali menjejakkan kaki di wilayah ujung timur Jawa itu pada medio 1994. Seorang pria kurus, gondrong, dan berjambang lebat menghampiri saya. Rada canggung, dia meminta sebilah parang saya.
“Saya dapat wangsit dari…,” tuturnya sambil menunjuk langit. Pria yang irit bicara ini menganggap wangsitnya mewujud pada parang buatan Ciamis, Jawa Barat.
Staf Taman Nasional Alas Purwo, Vera Trisnawati, mengingatkan saya ihwal keberadaan para lelono, pengelana spiritual. “Jangan kaget kalau ketemu para lelono,” ujarnya.
Para pengembara kebatinan memang menjalani laku hidup di tengah belantara. Ada yang berhasil, ada yang gagal. Yang tak mampu menuntaskan laku spiritual, tak jarang bertingkah aneh-aneh.
Alas Purwo dikenal sebagai daerah liar berselimut magi. Ungkapan Jawa jalma mara, jalma mati—manusia datang tak bakal kembali pulang—menyiratkan wingitnya Blambangan ini. Istilah purwo dalam bahasa Jawa berarti kawitan atau permulaan. Alas Purwo dipandang sebagai situs penciptaan pertama di bumi: tanah awal mula.
Citra spiritual terpancar dari sejumlah situs religius: Pura Giri Salaka dan sejumlah patirtan atau sumber air sakral. Di Pancur misalnya, terdapat tiga aliran air yang menembus batuan cadas. Selain berkhasiat membuat awet muda, Pancur menjadi sumber air bagi upacara Pagerwesi. Air suci menjadi salah satu syarat ritual umat Hindu yang diambil dari Pancur, Kucur, dan Laut.
Sembilan kilometer dari Pancur, gelombang Samudra Hindia di Pantai Plengkung justru yang memanggil para pengelana ombak. Di jalanan berlumpur selepas Pancur, aneka kupu-kupu berpesta pora menyesap garam di kubangan air hujan. Ayunan sayap kupu-kupu seperti melapangkan jalan berbatu nan licin.
Hari itu, ombak Plengkung sedang surut. Nun jauh di sana, ombak bergulung. Samudra Hindia tetap saja menggelora. “Tidak ada yang berselancar. Soalnya, jatuhnya ombak langsung ke igir-igir. Jadi berbahaya,” terang Nanang Dwi Prasetyo, petugas Taman Nasional di Plengkung.
Terumbu karang tepi itulah yang disebut igir-igir. Bentangan karang di pantai menunjukkan Plengkung telah mengalami pengangkatan. “Plengkung telah mengalami pengangkatan tiga kali. Ini daerah karst, yang ditandai banyak gua,” tegas Nanang.
Di batas igir-igir, lidah ombak menggeliat terhempas ke karang. Bayang-bayang hitam beberapa orang yang beraktivitas dekat gelombang nampak seperti kurcaci.
Tinggi ombak, tutur pria yang telah mirip peselancar ini, mencapai 2,5 sampai 3 meter lebih. Setelah hamparan igir-igir, lanjut Nanang, di dasar laut terdapat cekungan dalam. Topografi laut itu membuat arus mengalir membentuk ombak yang bagus.
Dari ujung timur hingga barat pantai, geliat ombak memiliki karakternya masing-masing. Dari timur ada ombak Money Trees, disusul Speedy’s, Kongs, Twenty-twenty dan Tiger Track. Julukan tiap jenis ombak berasal dari para peselancar. “Speedy’s, misalnya, dikenal karena kecepatannya, yang belum tertandingi di tempat lain,” terang Nanang, “karena itu menjadi favorit di perairan Plengkung.”
Gulungan ombak Money Trees kerap membentuk lorong, sementara Kong berombak besar tapi pendek. “Tiger Track cocok buat para pemula. Pemula bukan berarti tidak pandai selancar, hanya belum profesional,” tandas Nanang yang hingga kini masih kapok digiling ombak.
Sebagian besar peselancar berasal dari Amerika Serikat, Brazil dan Australia. Ombak menggelora antara Juni sampai September. Petualangan penuh risiko menjadikan Plengkung sebagai destinasi wisata minat khusus. “Sangat sangat khusus,” Nanang menegaskan.
Selain peselancar, pelancong yang datang hanya bisa menyaksikan deburan laut selatan dari menara pengamatan. Tepat di depan menara, terpampang ombak Money Trees dan Speedy’s menggelora.
“Kalau ingin melihat ombak dari dekat bisa menyewa perahu nelayan, menuju tengah laut,” ujar Nanang. Namun, gelombang besar membuat rasa ngeri saat di tengah laut. Demi keselamatan, menara pandang menjadi wahana terbaik untuk melihat para peselancar menumpangi riak laut.
Nama besar Plengkung telah mengibarkan semenanjung di batas timur Pulau Jawa. Tidak sekadar bersemayamkan keliaran belantara, Alas Purwo juga bertaut budaya, religi dan petualangan. Sepucuk semenanjung berselimut magi bagi kaum pengelana ombak dan spiritual.
Pemutihan pada Terumbu Karang, Kala Manusia Hancurkan Sendiri Benteng Pertahanan Alaminya
Penulis | : | |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR