Nationalgeographic.co.id—Banyak laporan pada masa kini yang mengisahkan bentrokan antara manusia dengan gajah di Bumi Sumatra. Pemberitaan membingkainya sebagai serangan, sementara pegiat lingkungan lebih berpendapat bahwa gajah hanya membela diri atas habitatnya yang makin sempit atas ulah manusia.
Padahal, gajah dan manusia sama-sama tinggal di Sumatra ribuan tahun lamanya. Melihat fenomena yang kerap terjadi, kita harus berpikir kembali, bagaimana sejatinya hubungan manusia dengan gajah di masa kebudayaan awal di Sumatra.
Rr Triwurjani, peneliti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dalam makalah Kearifan Lokal Masyarakat Megalitik Pasemah, Sumatra Selatan: Quo Vadis, menemukan keharmonisan antara manusia dan gajah Sumatra.
Tulisan itu adalah bagian dari kumpulan makalah dalam buku Meretas Kearifan Lokal di dalam Kancah Modernisasi, yang baru diterbitkan pada 2021 oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.
Hal itu tertuang bagaimana masyarakat Pasemah pada abad ketiga masehi, membingkai hubungan mereka dengan satwa besar ini lewat arca.
"Bentuk-bentuk arca tersebut, tentu saja tidak lepas dari latar belakang budaya yang berkembang pada waktu itu di mana ketergantungan manusia terhadap alam masih sangat tinggi," urai Rr. Triwurjani.
"Apalagi pada lingkungan alam yang masih banyak hutan lebat dan banyak gunung dan bukit terjal, sehingga kemampuan teknologi hidup di alam bebas untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya menjadi hal yang pokok."
Dia menambahkan, arca di Pasemah paling banyak yang menggambarkan manusia dengan gajah. Biasanya hewan besar itu digambarkan berukuran sama atau lebih kecil dari figur manusia, yang dapat diartikan adanya hubungan terjalin secara baik antara keduanya.
Triwurjani meneliti arca yang bergambar manusia dengan gajah. Berbgai arca itu berasal dari Situs Tanjung Telang, Situs Tinggi Hari, Situs Rindu Hati, Situs Pulau Panggung, Situs Kota Raya Lembak 1 dan 2, Situs Gunung Megang, dan Situs Tegawangi.
Arca menggambarkan bentuk kebaktian kepada leluhur dan segala hal yang ada di luar kemampuan manusia, jelas Triwurjani. Gajah adalah salah satu konotasi luar kemampuan manusia yang mempunyai kekuatan, tetapi bisa sangat dekat dengan manusia jika menjalin hubungan.
"Manusia pada masa itu sudah sangat mampu mengendalikan alam untuk kepentingan kehidupannya, baik bersifat profan (duniawi) maupun sakral," tulisnya.
Hal itu bisa dilihat dari simbolisasi dalam arca dengan sikap duduk, berdiri, dan rebahan mengikuti bentuk material bahan bakunya, saat berada di dekat gajah.
"Begitu kuatnya interaksi ini tergambarkan dalam simbol arca yang begitu teknik pembuatannya, sehingga arca-arca tersebut seolah bergerak dinamis," jelasnya. Gajah dengan manusia diberi simbol seperti perhiasan dan posenya untuk memberikan makna keharmonisan.
Baca Juga: Eksekusi Gajah, Metode Hukuman Mati Era Kuno yang Mengerikan
Dengan kata lain, arca-arca ini menunjukkan bahwa manusia sudah berhasil menaklukkan gajah liar untuk menjadi penurut, dan bahkan bisa membantu manusia. Bahkan, lanjutnya, gajah di masa lalu bisa dipelihara di alamnya agar menjadi teman manusia sehari-hari, termasuk membantu memporak-porandakan musuh.
Pada arca di Situs Tinggi Hari misalnya, ada figur dua manusia dengan atribut kepala mengapit gajah yang besar. Di bawah ekornya, ada pahatan kepala babi bertaring.
Triwurjani mengartikan gambar ini bahwa gajah sangat penting dan istimewa karena diapit dua orang yang punya kekuatan dalam struktur masyarakat. Babi di dalamnya adalah hewan hasil buruan yang didapati bila bekerja sama dengan gajah.
Ada pula arca yang menggunakan cawat, anting-anting, dan mata yang melotot, sedang memegang belalai gajah sambil membawa senjata di punggung. Berdasarkan konteksnya di situs, sosok ini adalah tokoh penting yang mungkin memiliki pasukan gajah, atau seorang penguasa di tingkat lokal.
Baca Juga: Artefak Megalitik Ditemukan di Maluku Utara, Terkait Pemujaan Leluhur
"Penguasaan gajah oleh figur manusia dalam bentuk simbol arca juga mempunyai konotasi bahwa kehidupan komunitas Pasemah di belantara Sumatera Selatan di kaki Gunung Dempo, telah berhasil menguasai alam sekitar dengan memelihara gajah sedari kecil, sehingga mudah diperlakukan bila ada keperluan interaksi khusus," ungkapnya.
"Keseimbangan alam yang terjaga ini dimungkinkan untuk memberi pakan gajah/kelompok gajah yang secara bergiliran diatur pertumbuhannya. Gajah akan sangat marah atau bisa menjadi liar kalau merasa lapar dan tidak tersedia cukup makanan."
Pemahaman masyarakat Pasemah periode megalitik tentang gajah sangat baik. Pemahaman itu diwariskan hingga komunitas sekarang, untuk menjaga keselarasan alam yang harus dijaga, saran Triwurjani.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR