Ketua Komisi I DPR Abdul Kharis Almasyhari prihatin penyanderaan warga negara Indonesia kembali terjadi. Terakhir, tiga anak buah kapal (ABK) Indonesia disandera.
Ia menilai, penyanderaan WNI yang sudah kesekian kalinya menunjukkan bahwa negara telah dilecehkan dan kewibawaan Indonesia tak diperhitungkan.
"Komisi I prihatin sekali dengan penculikan keempat dan mereka tidak menghitung kita. Kalau kita disegani, tidak mungkin ada pihak yang berani menculik warga negara Indonesia," tutur Abdul saat dihubungi, Senin (11/7/2016).
Ia menambahkan, pemerintah tak bisa melakukan usaha penyelamatan dengan instan. Pertama, pemerintah Indonesia perlu membangun diplomasi luar negeri yang semakin baik.
Kedua, postur Indonesia harus lebih diperhitungkan di mata asing, terutama dengan membentuk citra kewibawaan negara.
Abdul menilai, diplomasi yang dilakukan pemerintah Indonesia masih belum efektif mengingat masalah penyanderaan masih terjadi.
"Diplomasinya belum berhasil karena ternyata tidak sampai hasilnya dipahami di bawah. Kenyataannya masih ada yang disandera," kata politisi Partai Keadilan Sejahtera itu.
Ia pun mengingatkan agar solusi untuk penyanderaan ini tidak diarahkan pada pemberian tebusan kepada pihak Abu Sayyaf.
Pemerintah, kata Abdul, seharusnya tidak sekadar menjadikan penyanderaan ini sebagai bahan pembelajaran semata.
"Belajarnya jangan terlalu lama, apalagi ini sudah keempat kalinya," tutup Abdul.
Tiga WNI Lorens Koten selaku juragan kapal, Emanuel, dan Teodorus Kopong sebagai ABK diculik di perairan kawasan Felda Sahabat, Tungku, Lahad Datu Sabah, Negara Bagian Malaysia.
Ketiganya berada di kapal pukat tunda LD/114/5S milik Chia Tong Lim. Ketiga WNI diculik oleh lima orang bersenjata laras panjang yang berbahasa Sulu.
“Ketiga anak kapal suku Nusa Tenggara Timur mengaku memiliki paspor Indonesia dibawa penculik. Sedang empat lainnya, satu warga NTT dan tiga warga Palauh (Filipina) dibebaskan,” ujar Muhammad Fatah, Konsulat RI di Tawau–Malaysia, Minggu (10/7/2016).
Penulis | : | |
Editor | : | test |
KOMENTAR