“Jadi bentuknya tak seperti sekolah yang tertutup, melainkan menggunakan konsep terbuka dengan alam supaya anak-anak lebih bersahabat dan lebih dekat dengan alam,” ujar Dedi Zikrian, yang mewakili Pertamina EP Asset-1 Rantau Field. “Kita juga ada program Pertamina Mengajar, lewat kegiatan belajar mengajar bagi adik-adik didik Siekula Aneuk Nanggroe di SMP Merdeka. Kita juga punya program Pertamina Menginspirasi. Pekerja-pekerja Pertamina diberikan kesempatan untuk memberikan inspirasi kepada adik-adik.”
Selain program fasilitas pendukung pendidikan, Pertamina EP Asset-1 Rantau Field juga merintis “Tree Energy” untuk kebutuhan listrik bagi sekolah. Sumber listrik dengan perantara pohon kedondong ini digagas oleh Naufal Raziq, pelajar setingkat SMP di Kota Langsa. Sebanyak 40 pohon kedondong telah ditanam Pertamina EP Rantau Field di pekarangan sekolah pada tahap awal ini, yang kelak diharapkan menerangi fasilitas ruang belajar, balai, rumah guru. Walaupun tidak sekuat listrik negara atau diesel, setidaknya ada secercah cahaya yang bisa dinikmati masyarakat yang sejak puluhan tahun silam telah merdeka.
Dedi juga berharap, “Semoga mereka mempunyai semangat yang tinggi dan mampu menggapai cita-citanya untuk menjadi orang yang benar-benar berhasil dan bermanfaat bagi dirinya, keluarga, dan desanya—walapun desa mereka minim fasilitas pendidikan.”
Jelang sore, gadis-gadis Tampurpaloh berbaris dengan busana tradisi yang cerah di pelataran SMP Merdeka. Sembari menari, salah seorang gadis melantunkan syair dalam bahasa Gayo. Kira-kira artinya demikian, “Terima kasihku kepada Bapak Pertamina karena telah membangun sekolah SMA. Terima kasihku Bapak Ali dan Bapak Rezeki yang pertama membangun SMP di sini. Kalau tidak karena Bapak, mungkin kami tidak sekolah karena orang tua kami tak sanggup membiayainya.”
Hasbi yang turut menyaksikan tari bines itu berkata, “Sejak ada SMP Merdeka, anak-anak inilah yang kami harapkan memajukan daerah kami.”
Nun jauh di muara Tamiang yang berarus tenang, kami menjumpai sehamparan hutan mangrove kawasan lestari. Kawasan di pesisir Kecamatan Seruway ini telah menjadi tempat hidup aneka satwa seperti monyet, burung, aneka ikan dan udang, buaya, hingga tuntong laut (Batagur borneoensis). Selain sebagai habitat aneka satwa dan puspa, mangrove juga berfungsi sebagai penepis intrusi air laut, sumber obat, dan ekowisata alam pesisir.
Tuntong laut merupakan salah satu spesies kura-kura air tawar dan darat dari 29 spesies kura-kura yang ada di Indonesia. Keluarga tuntong memiliki dua spesies, tuntong laut dan tuntong sungai. Warnanya secara dominan warna cokelat muda. Pada musim kawin, pejantan tuntong sungai berubah kehitam-hitaman. Sedangkan tuntong laut berubah menjadi putih dengan tiga strip dengan garis hitam di karapasnya. Kepala pun berubah total menjadi putih dan matanya dilingkari garis hitam, hidungnya berwarna oranye kemerahaan, mulutnya bak bergincu merah. Lantaran wajahnya menyerupai badut, satwa ini kerap dijuluki kura-kura badut.
Kepala pun berubah total menjadi putih dan matanya dilingkari garis hitam, hidungnya berwarna oranye kemerahaan, mulutnya bak bergincu merah. Lantaran wajahnya menyerupai badut, satwa ini kerap dijuluki kura-kura badut.
Tuntong laut dan tuntong sungai memiliki habitat yang sama, yaitu hutan mangrove. Namun, tempat bertelur mereka berbeda. Tuntong sungai, saat musim bertelur bergerak ke tepian berpasir di hulu sungai. Sedangkan tuntung laut memiliki tempat bertelur sama dengan penyu, yaitu pantai pasir di laut. Di Indonesia, penelitian tentang tuntong laut terhitung masih sedikit.
“ Metode terkini yang dilakukan,” ujar Joko Guntoro, “adalah studi telemetri.” Lelaki putra Jawa kelahiran Sumatra itu merupakan pendiri dan peneliti pada Yayasan Satucita Lestari. “Setidaknya studi itu bisa menjawab pertanyaan: Setelah pelepasan, apakah tukik bisa bertahan hidup atau tidak? Jadi itu semacam alat evaluasi program bagi kita sendiri.”
Studi telemteri ini baru bermula saat pelepasan 20 tukik tuntong laut pada akhir 2015, demikian ungkap Joko. Tiga diantaranya diberi alat transmisi yang memancarkan sinyal dengan interval setiap sepuluh detik. Selama Januari hingga Maret, tukik-tukik itu masih terdeteksi. Namun semenjak itu belum terdeteksi kembali. “Kalau pada radius sampai 20 kilometer kita tidak menemukan sinyal,” ujar Joko, “berarti kita harus memperluas pencarian.”
Joko juga mengungkapkan dukungan Pertamina EP Asset-1 Rantau Field dalam penelitian soal keanekaragaman genetika tuntong laut di kawasan Ujung Tamiang. “Kita akan melakukan studi keragaman genetika di populasi indukan tuntong laut di habitat. Setiap anakan tukik membawa kode genetika dari bapak dan induknya. Jadi dari situ kita dapat ketahui seberapa besar keragaman genetik di populasi indukan liar di kawasan Aceh Tamiang.”
Apabila penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa keragaman genetika yang rendah, hal ini patut diwaspadai karena mungkin terjadi kegagalan populasi, artinya populasi tidak akan berkembang. Namun, “apabila keragaman genetikanya tinggi, berarti kita tidak perlu memberi upaya yang lebih jauh untuk memperbanyak populasi keragaman genetikanya,” ujar Joko.
Perjuangan pelestari dalam penelitian keragaman genetika ini didukung penuh oleh Pertamina EP Asset-1 Rantau Field. Pelaksananya, Yayasan Satucita Lestari bekerja sama dengan beberapa personel LIPI yang berpengalaman dalam penelitian genetika dan kura-kura.
“Konservasi tidak hanya menyelamatkan,” pesannya, “tetapi juga pelepasliaran demi menjaga keseimbangan alam.” Yayasan Satucita Lestari Indonesia dan Pertamina EP Asset-1 Rantau Field telah sepakat untuk menargetkan pelepasliaran sebanyak 500 ekor tukik selama 2013 hingga 2017. Sampai tahun lalu, jumlah aktual yang dilepas ke alam masih sebanyak 167 ekor. Namun, Joko menambahkan dengan berseri-seri bahwa sebanyak 666 ekor tukik—yang sekarang berada di kolam Fasilitas Penetasan dan Pembesaran di Kualasimpang—kelak siap dilepasliarkan ke habitat asalnya pada Oktober 2016.
“Cintailah tuntong laut seperti Anda mencintai Indonesia karena dia adalah kura-kura yang sangat Indonesia,” ujar Joko. “Sangat unik, warna dasarnya merah dan putih seperti warna bendera Indonesia.”
Penulis | : | |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR