Nationalgeographic.co.id—Gereja Katolik Roma di pusat Tervuren, pinggiran kota Brussel, ibu kota Belgia, bukanlah tempat wisata yang menarik untuk dikunjungi. Bangunan ini dipugar kembali dengan jendela kaca patri dan lonceng.
Namun, bukan bangunannya yang menjadi fokus utama, melainkan tujuh pusara yang berada tepat di luar temboknya. "Kuburan batu yang memiliki makna sejarah kelam bagi Belgia, pada masa lalu di zaman kolonial," tulis Nayeri.
Farah Nayeri menulisnya kepada The New York Times, artikelnya berjudul Remembering the Racist History of ‘Human Zoos’, dipublikasikan pada 29 Desember 2021.
Kuburan itu menyimpan enam pria Kongo dan satu wanita yang pada masa lalunya, dipamerkan seperti binatang di kebun binatang, di taman terdekat di Tervuren selama musim hujan tahun 1897.
"Mereka meninggal karena influenza dan radang paru-paru setelah dipaksa menghabiskan hari-hari mereka di luar (dipamerkan seperti binatang)," imbuhnya.
Mereka termasuk di antara 267 pria, wanita, dan anak-anak yang diangkut dari Kongo, Afrika, ke Tervuren untuk sebuah pameran kolonial yang diperintahkan oleh raja Belgia, Leopold II.
Baca Juga: Kisah Kelam Sarah Baartman, 'Manusia Sirkus' dari Suku Khoikoi
Orang-orang kulit hitam itu mendapat perlakuan keji, rasisme, dan dijadikan objek hiburan raja di era kolonial. Mereka dilatih untuk bermain sirkus, sebagaimana hewan-hewan yang dilatih untuk pertunjukan.
"Atraksi tersebut, yang menurut perkiraan kurator museum, telah dikunjungi oleh 1,5 miliar orang di seluruh dunia, berkisar dari pertunjukan sirkus kecil dan suatu pertunjukan yang aneh," terangnya.
Kekejian itu menunjukan superioritas bangsa kulit putih yang secara kejam menindas kaum kulit hitam yang sengaja didatangkan sebagai bahan hiburan dan pertunjukan.
"Tontonan seperti pameran manusia di tahun 1897, sering diselenggarakan oleh impresario yang membawa rombongan orang yang tidak dibayar atau dibayar rendah di seluruh dunia, seperti halnya orang Kongo ditampilkan di Amerika Serikat," ungkapnya.
Orang-orang hitam yang terlibat dalam pertunjuka, ditampilkan di balik pagar dan penghalang (seperti kandang), dengan pakaian setengah telanjang, mengenakan kulit binatang, dan melakukan pertunjukan yang merendahkan mereka.
Baca Juga: Piet Hitam Si Pembantu Sinterklas, Rasisme dalam Budaya Natal Belanda
Maarten Couttenier, salah satu kurator museum, menyebut kepada The New York Times sebagai 'Kebun Binatang Manusia'. Sebuah kisah kelam yang memilukan, terjadi di akhir abad ke-19.
Guido Gryseels, selaku Direktur Jenderal Museum Afrika, menyebut bahwa, "kehadiran museum ini, pameran 'Kebun Binatang Manusia' adalah kesempatan untuk melihat masa lalu kelam kita."
Foto-foto arsip di dalam museum, menawarkan pemandangan merendahkan tentang manusia yang dipamerkan seperti binatang sirkus.
Ada banyak foto lain dalam pertunjukan, serta kartu pos, poster yang menggambarkan sosok setengah telanjang—kadang-kadang dalam foto, diberi label 'buas'—dan barang dagangan seperti botol keramik dari pameran tahun 1897, menggambarkan seorang wanita Kongo membawa keranjang buah di kepalanya dan bayi dalam kantong.
Raja Leopold, yang menguasai daerah jajahan seperti Kongo di Afrika, dari tahun 1865 hingga 1909, memperbudak penduduk Kongo, memaksa orang-orang di sana untuk memproduksi karet demi keuntungan pribadinya.
Bagi Leopold, pameran kulit hitam adalah alat propaganda untuk meyakinkan orang-orang Belgia tentang keuntungan kolonisasi dan untuk mengumpulkan uang bagi rencana ambisiusnya dalam memodernisasi kerajaannya.
Baca Juga: Kerangka Manusia Asal Afrika Ini Ungkap Kekejaman Perdagangan Budak
Fanatisme terhadap supremasi dan superioritas kaum kulit putih, masih berlangsung hingga hari ini di Belagia. Terakhir, mantan kapten Manchester City sekaligus Tim Nasional Belgia, Vincent Kompany, mendapatkan cercaan karena berkulit hitam.
Sampai hari ini, isu memerangi rasisme masih digencarkan. Salah satu staf museum, Marie-Reine Iyumva, yang datang dari Rwanda ke Belgia, turut andil dalam membuat slogan-slogan yang memerangi rasisme di dinding-dinding musuem.
"Sebagai wanita kulit hitam, kami dibandingkan dengan hyena, digambarkan sebagai makhluk liar di tempat tidur," ungkap Iyumva kepada The New York Times.
"Persepsi seperti itu perlu dihilangkan, itulah mengapa pameran di Tervuren itu penting," tutup Nayeri.
Source | : | The New York Times |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR