Menargetkan mainan berdasar gender memiliki konsekuensi yang melebihi sosialisasi. Studi tahun 2015 menemukan bahwa anak laki-laki lebih cenderung bermain dengan mainan yang membantu perkembangan kecerdasan spasial, seperti K’nex, puzzle dan Lego dibandingkan anak perempuan.
“Pemasaran bisa memegang peran tertentu,” kata penulis studi Jamie Jirout, psikolog perkembangan di University of Virginia. Lini produk berorientasi anak perempuan Lego Friends berfokus pada sandiwara ketimbang konstruksi. Lorong di beberapa toko mainan membedakan “set bangunan” dengan “set bangunan anak perempuan”.
Anak laki-laki juga tampak bermain secara berbeda. Menurut studi 2012 oleh Susan Levine, profesor pendidikan dan psikologi di University of Chichago, anak laki-laki lebih memilih bermain dengan puzzle yang lebih kompleks dan mendapat lebih banyak dorongan terkait spasial dari orangtua mereka. Para orangtua lebih cenderung menggunakan kata-kata yang dapat mendorong pemikiran spasial ketika anak-anak mereka bermain dengan puzzle yang lebih menantang.
Perbedaan ini mungkin membentuk kehidupan di kemudian hari. “Kemampuan spasial merupakan salah satu penjelasan atas kurangnya perwakilan perempuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi,” kata Jirout.
Aktivitas informal seperti bermain merupakan kunci untuk mengembangkan kemampuan spasial yang tak hanya penting untuk matematika dan sains, tetapi juga untuk “fungsi eksekutif”—tingkat pemikiran yang lebih tinggi. “Nyaman dengan mainan jenis tertentu juga dapat membentuk kepercayaan diri anak-anak dalam mata pelajaran tertentu,” kata Auster.
“Nyaman dengan mainan jenis tertentu juga dapat membentuk kepercayaan diri anak-anak dalam mata pelajaran tertentu,” kata Auster.
Ada tanda-tanda hal ini mungkin berubah. Pengecer mainan besar, dari Target to Walmart hingga Amazon, menurunkan penekanan pelabelan gender pada mainan. Bahkan toko mainan tertua di dunia, Hamley’s di Inggris yang berdiri sejak 1750, telah menghilangkan lebel gender pada 2012.
Meski mainan tetap terbagi, peran gender mengingatkan mereka untuk mendorong anak-anak pada 1925, tetapi lebih fantastik: ibu rumah tangga adalah “tuan putri”; tukang kayu; dan pahlawan.
“Anda menurunkan layar latar belakang merah jambu, tetapi tetap ada lorong merah jambu,” Sweet berbicara tentang pembagian area mainan di toko.
Dalam menghindari risiko industri mainan, saat pengembangan dan pemasaran mainan berdasarkan gender merupakan pendekatan handal, perusahaan seperti Hasbro membagi produk mereka dalam kategori anak laki-laki dan perempuan dalam laporan tahunan mereka.
Pada akhirnya, mungkin tergantung orangtua bagaimana menjembatani kesenjangan gender. “Pandangan bias mereka dan stereotip mereka mungkin mempengaruhi anak-anak,” kata Jirout.
“Anak perempuan tak terlalu peduli dengan warna mainan mereka,” pungkasnya.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR