Nationalgeographic.co.id—Ketika pelangi muncul, Robert Blust melakukan apa yang biasa dilakukan oleh sebagian besar orang: menunjuk ke arah pelangi. Saat itu, tahun 1980, Blust sedang menunggu waktu makan siang bersama sekelompok guru dari seluruh Indonesia. Ia adalah seorang profesor di Universitas Leiden.
Melihat Blust, salah satu guru dengan sopan memberitahunya bahwa menunjuk ke arah pelangi menjadi hal yang tabu untuk dilakukan di Sumatra. Yang lain menimpali, bahwa di wilayah lain di Indonesia juga mempercayai hal yang sama. Saat masih kecil, kedua guru itu percaya bahwa jika melanggar kepercayaan itu, maka jari akan menjadi bengkok seperti pelangi.
Kejadian itu tidak serta-merta memengaruhi jarinya, tetapi itu membengkokkan kariernya. Ia tersandung pada teka-teki yang menyibukkannya selama empat puluh tahun.
Ketika Blust kembali ke Belanda, dia masih memikirkan kejadian itu. “Sesuatu tentang pengalaman itu tetap ada dalam pikiran saya,” tulisnya kemudian. Dia mulai menyisir etnografi untuk kepercayaan tradisional tentang pelangi.
Petunjuk pertama berasal dari India. "Tabu pelangi", begitu Blust menyebutnya, ternyata tidak terbatas di Asia Tenggara saja.
Blust mulai menebar jaring yang lebih lebar. Dia mengirim kuesioner ke kolega dan stasiun misionaris di seluruh dunia, menanyakan tentang pelangi dan mitos yang berkaitan.
Tidak menunggu lama, ia mengumpulkan laporan tentang tabu pelangi dari 124 budaya dalam beragam bentuk.
Larangan itu muncul di Amerika Utara, di antara Atsugewi di California utara dan Lakota di dataran utara. Juga di bagian terpencil Australia dan pulau-pulau terpencil di Melanesia; antara Nyabwa Pantai Gading dan Kaiwá Brasil.
Pada suatu waktu, larangan ini juga muncul di Eropa. Salah satu Grimm bersaudara mencatatnya dalam bukunya tentang mitologi Jerman. Keyakinan itu tidak ditemukan di setiap budaya, menurut Blust, tetapi ada secara global di wilayah yang dihuni.
Ada juga yang lebih tabu daripada gagasan samar bahwa menunjuk pelangi itu buruk. Blust menemukan bahwa kepercayaan ini sering kali diikuti dengan ide-ide spesifik tentang apa yang akan terjadi jika Anda melanggar tabu. Ide-ide inilah yang bervariasi dari satu budaya ke budaya lain.
Paling umum, sesuatu akan terjadi pada jari Anda. Baik itu menjadi bengkok atau cacat, membusuk, atau membengkak, hingga mengalami bisul atau kutil. Sedangkan di beberapa daerah di New Guinea dan Australia, efek buruk akan menimpa ibumu.
Dalam kebanyakan kasus, larangan berlaku jika seseorang menunjuk menggunakan jari telunjuk. Larangan tidak berlaku jika menunjuk ke arah pelangi menggunakan kepala, bibir, hidung, atau lidah, juga kepalan tangan.
Bila Anda tidak sengaja menunjuk ke arah pelangi, jangan khawatir, ada penangkal untuk itu. Anda dapat membasahi jari atau memasukkannya ke dalam rongga tubuh seperti mulut, anus, atau pusar. Sedangkan menurut kepercayaan versi Jawa, mencelupkan jari telunjuk ke dalam tumpukan kotoran kerbau juga ampuh.
Apa yang menjadi pemicu keyakinan ini? Menurut Blust, ada 2 faktor kunci. Yang pertama adalah, secara tradisional, pelangi dianggap suci, manifestasi dari alam lain. Pelangi disambut dengan campuran ketakutan, kekaguman, dan rasa hormat yang umumnya diberikan pada hal-hal rohani.
Faktor kedua adalah bahwa menunjuk secara umum dipandang sebagai tindakan agresif atau tidak sopan. Kombinasikan keduanya dan Anda akan mendapatkan gagasan bahwa seseorang tidak boleh bertindak agresif terhadap sesuatu yang dianggap suci.
Jamshid Tehrani, seorang profesor antropologi di Universitas Durham, setuju dengan gagasan Blust. Untuk mendukungnya, ia mencatat bahwa tabu menunjuk lainnya muncul dalam cerita rakyat dunia.
Ia menguraikan alasan mengapa pelangi dilihat sebagai sesuatu yang supranatural atau suci. Ini karena pelangi itu fana. Kita tidak bisa benar-benar berada dekat dengan pelangi. Pelangi menentang intuisi kita tentang fisika, tambahnya. Mereka tampaknya hadir secara fisik dan tidak hadir pada saat yang bersamaan.
Tehrani menggambarkan tabu pelangi sebagai contoh yang bagus dari "penarik budaya."
Ide-ide seperti itu tidak serta merta muncul sepenuhnya dan langsung memikat. Sebaliknya, ketika ide diteruskan dari tetangga ke tetangga dan dari generasi ke generasi, ide pun bermutasi.
“Melalui komunikasi, orang dapat mempertajam keyakinan menjadi bentuk yang paling menarik,” kata Manvir Singh, seorang antropolog.
Baca Juga: Cantiknya Lebah 'Pelangi' Australia, Terbang Sampai Indonesia
Lewat cara ini, beberapa ide terbukti sangat menarik sehingga menyebar melintasi batas-batas budaya dan bertahan selama berabad-abad.
Di luar faktor-faktor yang diusulkan Blust, fitur lain dari tabu pelangi mungkin membuatnya sangat sukses. Pertama, orang cenderung bergantung pada informasi tentang ancaman—seperti jari atau ibu. Desas-desus tentang bahaya juga menyebar dengan cepat. Hal-hal yang memicu rasa jijik juga tampaknya sangat berhasil. Seperti efek kutil, belatung, dan kotoran dalam beberapa versi.
Penjelasan psikologis ini mungkin tepat, tetapi tidak banyak memberi tahu kita tentang sejarah sebenarnya dari kepercayaan ini. Apakah itu ditemukan berulang kali di masyarakat? Mungkinkah ini peninggalan dari beberapa budaya kuno, dipertahankan di beberapa tempat tetapi hilang di tempat lain?
“Ini pertanyaan yang sulit,” Miton menambahkan. Terlebih lagi dengan keyakinan yang tidak memiliki bentuk material dan karenanya tidak dapat ditentukan tanggalnya, tambahnya.
Kehadiran tabu pelangi di seluruh dunia dapat disebabkan oleh beberapa campuran pengembangan independen, penyebaran virus, dan retensi selama ribuan tahun.
Blust berpendapat bahwa mitos itu mungkin berasal dari zaman Batu Tua atau Paleolitikum. Namun mungkin berulang kali hilang dan diciptakan kembali. Maka masuk akal bahwa pada titik tertentu di dalam sejarah, tabu pelangi adalah kepercayaan universal atau setidaknya mendekati universal.
Jadi jika suatu hari Anda melihat pelangi, jangan lupa lindungi jari telunjuk agar tidak menjadi bengkok.
Baca Juga: Jarang Terlihat, Fenomena 'Pelangi Horizontal' Tertangkap Kamera
Source | : | Atlas Obscura |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR