Penelitian juga menunjukkan bahwa hormon pertumbuhan, yang berperan dalam pembentukan otot, juga meningkatkan kinerja saat tubuh berpuasa. Peningkatan kinerja hormon ini membuktikan bahwa tubuh manusia mampu melakukan adaptasi untuk bertahan selama beberapa waktu tanpa makanan.
Baca juga: Makanan Pedas Bikin Sehat dan Panjang Umur
“Beberapa orang tidak hanya memperoleh manfaat lewat pembakaran lemak yang tinggi, namun juga merasa lebih nyaman dan lebih kuat ketika terbiasa berpuasa,” ujar Jon Haas, pelatih kebugaran dari New Jersey. “Mereka juga merasa lebih bisa mengendalikan tubuhnya, dan secara mental menjadi lebih kuat. Dan memang seperti inilah tubuh kita dirancang.”
Sisi buruk dari puasa ini, adalah kecenderungan orang untuk mengkonsumsi makanan tinggi kalori seperti gula dan karbohidrat, begitu masa puasa selesai. Hal ini masuk akal karena setelah berpuasa 20 jam tubuh kita memang akan berusaha mencari makanan dan karbohidrat untuk mengganti yang hilang dan agar bisa dipakai seandainya nanti tidak mendapatkan makanan lagi. Meski begitu, menurut para pelaku IF, tubuh kita bisa dibiasakan untuk mengkonsumsi makanan yang lebih sehat.
Mencegah kanker
Sebuah penelitian tentang tubuh manusia yang dilakukan University of California di Berkeley, University of Southern California, Mount Sinai Chicago menunjukkan bahwa IF bisa membantu mencegah munculnya kanker. Pasalnya, selama puasa sel-sel tubuh kita berada dalam mode protektif sehingga menjaga tubuh dari serangan penyakit. Selain itu, sel-sel kanker akan kesulitan berkembang karena makanan mereka, glukosa, tidak ditemukan dalam aliran darah saat kita berpuasa.
Umur panjang dan perlindungan saraf
Berpuasa adalah kegiatan yang melatih otak kita seperti halnya otot dilatih dengan berolahraga, ujar Mark Mattson, peneliti di National Institute on Aging. “Ketika otak dibatasi asupan energinya, ada aktivitas sampingan yang terjadi, yakni ada sel-sel melindunginya dari kerusakan, seperti stroke dan penuaan,” ujar Mattson.
“Puasa juga meningkatkan BDNF, protein penting untuk melindungi tubuh dari kerusakan-kerusakan terkait usia,” lanjut Mattson. “Ada juga bukti bahwa ketones yang didapatkan dari lemak dan digunakan sebagai bahan bakar selama puasa, merupakan pelindung dari penyakit degeneratif seperti epilepsi dan Alzheimer.”
Membiasakan berpuasa
Awalnya, puasa mungkin terasa berat. Yang terpikir adalah kapan waktu makan. Namun menurut Brad Pilon, metode ini sangat bisa dibiasakan. Awalnya kita cukup mengambil dua hari dalam seminggu berpuasa, hal yang tidak asing lagi karena di Indonesia ada juga kebiasaan berpuasa Senin Kamis. Bila sudah terbiasa, maka kita bisa menambah hari, sehingga menjadi lima hari dalam seminggu.
Mengenai waktunya sebenarnya terserah pada kebiasaan kita, apakah kita mau mengambil jendela makan di pagi hingga siang hari, atau siang hingga sore. Intinya usahakan tubuh kita tidak makan (makanan berkalori, artinya boleh minum air putih) sedikitnya selama 12 jam setiap hari. Makin kecil jendela makan, makin cepat efek yang ditimbulkannya.
“Pembakaran lemak mulai terjadi setelah 12 hingga 13 jam berpuasa, dan mencapai puncak setelah 18 jam,” ujar Pilon. Artinya juga kita bisa menahan hingga 18 jam tidak makan, maka proses itu akan lebih efektif.
Bagaimana dengan tenaga untuk bekerja dan berolahraga? Mereka yang melakukan IF mengatakan tidak ada masalah dengan hal itu. Mereka justru merasa lebih bertenaga jika melakukan latihan pada periode puasa dibanding bila makan sebelumnya. Tentu hal ini tidak berlaku untuk olahraga yang sifatnya endurance, seperti lari marathon misalnya.
Baca juga: Gen Bisa Ungkap Waktu Kematian Seseorang
Pada dasarnya, tubuh kita tetap bisa mendapatkan tenaga dari sumber lain, yakni ketones lewat pembakaran lemak. Ini hanya seperti memindahkan baterai saja.
Bila Anda termasuk orang yang bisa menahan lapar selama sedikitnya 12 jam, maka cara ini merupakan salah satu pilihan untuk mendapatkan tubuh yang lebih sehat dan usia lebih panjang. Seperti kata Benjamin Franklin: “Untuk mendapatkan umur panjang, makanlah lebih sedikit.”
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR