Rumah dengan pilar-pilar bercat putih ini diyakini memiliki kaitan dengan toponimi setempat, Pondok Cina. Lantai berandanya terbuat dari terakota. Jendela-jendelanya pun dihias bingkai mewah. Ini memang bukan rumah biasa.
Kabarnya, rumah dan permukiman kawasan ini turut menandai pembukaan hutan di selatan Batavia pada abad ke-17. Apabila hal itu benar, boleh jadi arsitektur awalnya telah berganti menjadi arsitektur Hindia sejak gempa besar melanda kawasan Bogor dan Batavia pada 1830-an.
Sekitar sepuluh tahun silam, saya menyaksikan rumah ini berada dalam kawasan proyek pembangunan pusat perbelanjaan. Saat itu bangunannya sudah diamputasi. Entahlah, mungkin jauh sebelum proyek pembangunan itu bermula.
Ajaib, rumah Pondok Cina hadir sebagai penyintas. Kendati bagian belakangnya terpenggal, sisi depannya masih memesona. Belakangan, sebuah kedai menghidupkan kembali suasana repihan rumah itu. Warga yang menjadi pelanggannya seolah turut merayakan kembalinya rumah Pondok Cina pada awal abad ini. Semarak rumah tua itu hidup laksana tengara kota!
Toponimi Pondok Cina sudah disebut dalam catatan seorang pegawai VOC, Kapten Jan Adolph Winkler, pada 1697, demikian menurut Pater Adolf Heuken dalam buku babon Historical Sites of Jakarta. Tidak ada catatan lebih awal lagi selain kabar dari Winkler yang mengungkapkan bahwa pemiliknya seorang Cina.
Lilie Suratminto, ahli lingusitik dan pengajar senior pada Program Studi Bahasa Belanda di FIB-UI, pernah berkata kepada saya tentang asal-usul toponimi Pondok Cina. Lilie mengawali kisahnya tentang sosok tuan tanah Cornelis Chastelijn (1657-1714). Dia berkuasa atas tanah-tanah partikelir di Batavia dan sekitarnya. Chastelein turut pula membentuk wajah kawasan yang kelak kita kenal dengan toponimi Depok.
Chastelein memiliki berbagai kebun di Depok, ungkap Lilie. Banyak orang-orang Cina yang berminat untuk berdagang di tanah miliknya. Namun, Chastelijn melarang orang-orang Cina untuk bermalam di tanahnya, bahkan untuk melintas sekalipun! Lantaran ada aturan dari sang tuan tanah itulah, orang-orang Cina membuat pondokan untuk bermalam. “Lalu, orang-orang menyebutnya dengan Pondok Cina,” kata Lilie.
Namun, Chastelijn melarang orang-orang Cina untuk bermalam di tanahnya, bahkan untuk melintas sekalipun!
Saya juga berkesempatan bertemu Jan-Karel Kwisthout yang mampir di Depok beberapa tahun silam. Jan meneliti tentang sejarah Depok yang berkait dengan perangai Chastelijn, dan meluncurkan bukunya berjudul Sporen uit het verleden van Depok—atau dalam edisi bahasa Indonesia berjudul Jejak-jejak Masa Lalu Depok. Berdasar catatan-catatan dari sang tuan tanah itu, Jan mengungkapkan bahwa Chastelein memiliki ketidaksukaan kepada orang Jawa dan orang Cina.
Aturan pelarangan Chastelein kepada orang-orang Cina tadi bermula pada akhir abad ke-17 dan setidaknya bertahan hingga awal abad ke-20. Jan mengisahkan bahwa pernah ada pedagang Cina membuka toko kecil di Depok, yang terpaksa tinggal di Pondok Cina lantaran masih ada aturan orang Cina tidak boleh bermalam di Depok. “Oleh pemerintah desa ia tidak diperbolehkan memasuki tanah itu sebelum matahari terbit, dan sebelum matahari terbenam dia harus meninggalkan tanah itu lagi,” demikian catat Jan dalam bukunya.
Pondok Cina tampaknya bagian kenangan pahit orang-orang Cina yang berjuang hidup di pinggiran luar Kota Batavia. Namun, toponimi ini menunjukkan ‘kemenangan’ orang-orang Cina yang mampu hidup tak hanya di jantung Batavia—tetapi juga daerah pedalaman.
Pondok Cina tampaknya bagian kenangan pahit orang-orang Cina yang berjuang hidup di pinggiran luar Kota Batavia. Namun, toponimi ini menunjukkan ‘kemenangan’ orang-orang Cina yang mampu hidup tak hanya di jantung Batavia—tetapi juga daerah pedalaman.
Kemarin, saya kembali menengoknya. Tampaknya, rumah itu kian terkepung bangunan beton. Kedai yang beberapa tahun lalu turut merayakan semarak rumah itu pun tak lagi berkuasa. Pembangunan kian menggerogoti pekarangannya. Sampai-sampai rencana tata ruang sekadar menyisakan sepetak jalan menuju berandanya. Rumah Pondok Cina, yang tadinya digadang-gadang menjadi tengara kota tampaknya terkepung dan tenggelam dalam peradaban yang pernah dibangunnya. Soal hal tata ruang, kita memperlakukan rumah pusaka itu tak sebagaimana mestinya. Hari ini rumah Pondok Cina masih hadir bersama kita, namun jiwanya kian limbung.
Setiap bangunan memiliki jiwa. Konteks arsitektural sebuah bangunan mungkin akan terkait dengan tempat, aspek arkeologi dan sejarah kawasan, atau ekologi di sekitarnya. Kapan bangunan ini hadir dan pada saat kota seperti apa? Juga, bagaimana sebuah bangunan merespon konteks?
Di Jakarta dan sekitarnya, sejatinya banyak rumah milik tuan tanah yang berkait dengan pusaka kota. Namun, celakanya, kepentingan kota acap kali tak kuasa menjaga pusakanya.
Kita tidak rela apabila rumah Pondok Cina bernasib seperti rumah Cimanggis, yang kini binasa dan menyisakan puing-puing pusaka warganya. Kita juga sungguh tidak rela rumah ini musnah tak berbekas, seperti rumah Kapitan Oei Djie San di Karawaci atau rumah Johannes Hooyman yang menandai toponimi Pondok Gede. Masihkah kita memiliki harapan kepada rumah ini supaya lestari dan memancarkan pamor pesonanya seperti Gedung Arsip Nasional di Jakarta?
Budi Lim, salah satu arsitek yang memugar Gedung Arsip Nasional, pernah berkata beberapa tahun silam, "Kota tanpa bangunan tua itu seperti orang yang hilang ingatan."
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR