Satu menit. Dua menit. Tiga menit…. Seperti membilang nasib, seluruh mata menatap pintu kandang lepas itu. Di atas kandang, berdiri di anjungan, Panglima Tentara Nasional Indonesia Jenderal Gatot Nurmantyo sesekali menengok ke bawah. Sesekali Panglima Gatot nampak bertanya kepada pendiri Tambling Wildlife Nature Conservation Tomi Winata.
Hingga menit kelima, belum ada gerakan di pintu kandang lepas. Semua orang menahan napas. Rasa penasaran menyelimuti udara lokasi pelepasliaran di Pati 1, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung.
Pada menit ketujuh, kepala Mulli melongok memindai keadaan. Tatapan matanya nanar, seringainya tajam. Hari itu, akhir pekan pertama Juni 2017, ia harus menentukan hidup: lepas ke alam liar atau tetap di kandang.
Menyentuh menit kedelapan, kaki kanan Mulli menginjak tanah basah. Ia memilih alam raya Bukit Barisan Selatan. Ia menuju kerumunan tumbuhan mantangan di lembah sebelah kanan kandang pelepasan. Tubuhnya yang cokelat merah dengan semburat loreng tenggelam dalam kerumunan mantangan.
Tak seberapa lama, ia muncul kembali dari semak-semak. Mulli berjalan gontai, mengikuti alur punggung lembah. Agaknya tak mudah mencari tempat persembunyian di hutan yang terbuka itu. Pada satu titik, dia masih sempat menoleh kembali. Itulah tatapan terakhir sebelum Mulli ditelan keremangan hutan.
“Mulli dilepas di daerah jelajahnya yang asli. Ia tidak canggung, tidak stres, dan berjalan melihat-lihat situasi. Ia terlihat percaya diri,” jelas Tomi Winata. Tomi mengimbuhkan, Mulli akan dipantau melalui kalung GPS selama enam bulan ke depan.
Kembalinya harimau sumatra betina ini ke alam bebas memang dramatis. Sekira dua tahun lalu, harimau betina remaja yang sedang mekar itu ditemukan sekarat. Saat itu, September 2017, usia Mulli baru berbilang bulan. Luka di sisi kanan perut Mulli terlalu parah. Belatung mengerumuni boroknya.
Mulli ditemukan oleh Suwegyo di tepi jalan Dusun Pengekahan, Way Haru, Pesisir Barat, sebuah pemukiman enklave di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. “Dari jauh seperti anjing, tapi tubuhnya lebih pendek dan berbulu lebat,” tutur Suwegyo, yang juga bekerja di TWNC. Mulli berjalan tertatih-tatih. Ia sekarat. “Semakin dekat, ia menghindar, bersembunyi di semak pandan.”
Staf medis Rescue Center TWNC lantas menyelamatkan Mulli. Lukanya diobati, dan lalu dirawat. “Untungnya baru sedikit ada gangren. Jadi lukanya baru di daging, belum masuk ke rongga perut,” tutur Satmoko, dokter hewan Rescue Center. Tapi pada hari ketiga perawatan, Mulli kritis. “Mungkin lukanya terlalu parah, dan bisa juga stres masuk lingkungan baru,” imbuhnya.
Satmoko menyatakan, antibodi Mulli nampaknya bagus. Pada pekan kedua di ruang rawat, kesehatan Mulli mulai membaik. Sebulan kemudian, luka Mulli mengering. “Satu bulan kemudian, tumbuh jaringan muda di luka Mulli. Daya tahan tubuhnya memang bagus.” Usai melewati masa-masa rehabilitasi, akhirnya, hari itu Mulli menghirup udara bebas.
Harimau sumatra (Panthera tigris sumatrae) merupakan spesies prioritas konservasi untuk pemulihan populasinya di alam. Populasi harimau sumatra di alam liar sekira 400 harimau. Upaya pelepasliaran di kawasan Tambling Wildlife Nature Conservation ini untuk meningkatkan populasi pemangsa kelas atas ini.
“TNI punya kepentingan untuk melestarikan alam, kemudian hutan, dan flora-faunanya,” tutur Panglima Gatot Nurmantyo. Ia menambahkan, TNI dan Tambling Wildlife Nature Conservation sama-sama punya kepentingan untuk melestarikan hutan seisinya. “Hutan sangat bermanfaat bagi makhluk hidup. TNI akan menjaganya agar hutan tetap lestari.” Gatot memaparkan, Tambling Wildlife Nature Conservation dapat dijadikan contoh dalam konservasi, untuk dikembangkan di tempat-tempat lain.
Ini bukan pertama kali TWNC mengobati harimau yang terluka. Pada 2011 silam, Rescue Center merawat Panti yang telapak kakinya terluka. Setelah dirawat intensif, Rescue Center baru mengetahui ternyata Panti juga sedang bunting. Dari Panti lahir tiga anak: Bintang, Topan, dan Petir. Mendahului Mulli, Panti telah dilepasliarkan pada 2015 lalu.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR