Nationalgeographic.co.id—Orang-orang di seluruh dunia menjadi semakin khawatir soal krisis iklim. Bahkan melihatnya sebagai salahsatu ancaman utama bagi negaranya. Ketika datang untuk mengatasi itu, fokusnya cenderung pada solusi energi bersih. Memang tidak salah, tapi sistem pangan global, meliputi produksi, proses pascapertanian, dan distribusi juga jadi kontributor emisi karbon.
Siapa kira makanan bertanggung jawab atas sekitar 26% emisi gas rumah kaca global. Sementara yang bukan makanan sebesar 74% dari 52.3 juta ton emisi global setara karbon dioksida, menurut penjabaran Hannah Richie, founder Our World in Data mengutip studi Reducing Food’s Environmental Impacts Through Producers and Consumers.
Peternakan & perikanan menyumbang 31% dari emisi makanan, produksi tanaman menyumbang 27% dari emisi makanan, penggunaan lahan menyumbang 24% dari emisi makanan, rantai pasokan menyumbang 18% dari emisi makanan.
Ternak, berkontribusi terhadap emisi dalam beberapa cara. Ternak ruminansia, terutama sapi, menghasilkan metana melalui proses pencernaan mereka. Pengelolaan kotoran ternak, pengelolaan padang rumput, dan konsumsi bahan bakar dari kapal penangkap ikan juga termasuk dalam kategori ini.
Sapi adalah ruminansia. Maksudnya, bagian dari sistem pencernaannya (rumen) dirancang untuk memfermentasi makanan bernutrisi rendah seperti rumput dan daun. Hal ini berisi beragam mikroba yang membantu mereka mengekstrak nutrisi sebanyak mungkin dari makanan mereka. Sayang, beberapa mikroba ini menghasilkan metana yang kemudian dilepaskan dari rumen. Di sini, Mette Nielsen, seorang profesor ilmu hewan di Universitas Aarhus berdalih.
"Bukan sapi yang menghasilkan metana, itu mikroorganisme yang disebut Archaea," katanya kepada BBC. "Jadi jika kita bisa memblokir proses ini dan membujuk Archaea untuk tidak menghasilkan metana, pada dasarnya kita akan memiliki sapi yang netral terhadap iklim."
Beberapa orang mungkin berpendapat bahwa meninggalkan peternakan sapi merupakan cara terbaik untuk mengatasi krisis iklim. Tetapi, itu bukan solusi yang masuk akal. Nielsen dan peneliti lainnya lebih tertarik pada hal yang menghambat metana. Seperti rumput laut Asparagopsis di Australia yang mengandung senyawa bernama bromoform. Bila dimakan
oleh sapi dapat mengurangi emisi metana hingga 98%. Tapi yang jadi pertanyaan apakah sapi menyukai rasa bromoform? Dalam beberapa eksperimen, sapi mengurangi jumlah makan mereka setelah rumput laut dimasukkan ke dalam makanannya.
21% emisi makanan berasal dari produksi tanaman dan 6% berasal dari produksi pakan ternak. Mereka adalah emisi langsung yang dihasilkan dari produksi pertanian, termasuk unsur seperti pelepasan dinitrogen oksida dari pupuk dan pupuk kandang, emisi metana dari produksi beras, dan karbon dioksida dari mesin pertanian.
Ekspansi pertanian juga menghasilkan konversi hutan, padang rumput, dan ‘penyerap’ karbon lainnya yang menghasilkan emisi karbon dioksida. Perubahan penggunaan lahan ini menyumbang 24% emisi karbon.
Sementara itu, pemrosesan makanan, dari pertanian ke produk akhir, transportasi, pengemasan, dan eceran, semuanya memerlukan energi dan input sumber daya. Emisi limbah makanan tergolong besar, 3,3 miliar ton CO2eq dari produksi makanan berakhir sebagai limbah, baik dari kerugian rantai pasokan atau konsumen. Pengemasan, pendinginan, dan pemrosesan makanan yang tahan lama, semuanya dapat membantu mencegah pemborosan makanan. Misalnya, pemborosan buah dan sayuran olahan 14% lebih rendah daripada segar dan 8% lebih rendah untuk makanan laut.
Source | : | Berbagai Sumber |
Penulis | : | Fikri Muhammad |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR