Buat saya, Ahmad pantas terpilih sebagai duta karang. Rasa percaya diri telah tumbuh. Dia mau menguasai panggung di hadapan ratusan pasang mata pada malam yang gerah itu. Dengan gaya yang khas, dia pun cepat diingat oleh audiens. Bahkan, beberapa di antara penonton, telah yakin Ahmad bakal keluar sebagai jawara.
“Nanti yang terpilih sebagai duta karang akan kami berangkatkan ke Jakarta untuk menjadi wakil (taman nasional) Taka Bonerate di acara pameran selam,” kata Jusman, kepala taman nasional saat memulai kegiatan awal seleksi. Tepuk tangan pun mengiringi akhir kalimat sang kepala balai pengelola.
Sewaktu saya melontarkan sederetan pertanyaan tentang terumbu karang dan ikan, Ahmad dan peserta lainnya tampak lebih nyaman menjawab dengan bahasa Bajo. Entah itu soal penyebutan nama ataupun istilah keseharian. Mereka mengenali seluruh penghuni terumbu, tapi buat menyebutkannya kembali lebih percaya diri dalam kosa kata Bajo.
Kehidupan Orang Bajo di Desa Khusus Pasitallu yang menghuni Pulau Pasitallu Timur. Di dalam kawasan Taman Nasional Taka Bonerate, Kepulauan Selayar, ada sejumlah pulau yang memiliki penduduk dari suku lain, seperti Bugis, Flores, dan Selayar. (Sanovra Jr/Tribun Timur)
Bungin Belle, salah satu bungin atau gusung yang ada di Taman Nasional Taka Bonerate, Kepulauan Selayar. Gusung ini menjadi tempat bermukim sementara bagi nelayan Bajo asal Pulau Pasitallu Timur, di kawasan taman nasional saat musim melaut. (Asri)
Bajo yang menghuni wilayah Kepulauan Selayar telah menarik perhatian dunia sejak lama. Entah sudah berapa banyak wisatawan hingga peneliti mancanegara (tentu, termasuk pejalan partikelir macam saya) yang ingin mengetahui lebih dalam kehidupan suka nomad laut ini.
Mau tahu contohnya? Tengoklah riwayat penelitian dari Horst H. Liebner. Peneliti kelahiran Jerman 57 tahun silam itu begitu intens meneliti kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan dan Tenggara, termasuk Bajo. Horst mendapatkan sarjana Sastra Indonesia dan Melayu dari Universitas Koln di Jerman. Pada 1987, dia mendapatkan beasiswa untuk bersekolah di Universitas Hasanuddin. Dari situlah, Horst makin dalam meneliti kehidupan bahari di kaki Sulawesi. Bahkan, saat ini, dia menyatakan bahwa dia telah mewakafkan diri untuk merawat tradisi maritim Sulawesi. Wow!
Pada 1996, Horst menggelar penelitian tentang cerita asal muasal Orang Bajo yang bermukim di wilayah selatan Selayar. Dia menyusuri bagian selatan Teluk Bone hingga terus semakin ke selatan di Selayar. Dari situ, dia mengumpulkan empat cerita oral tentang asal mula Orang Bajo. Kisah itu juga tercantum dalam lontaraq, manuskrip yang mengisahkan riwayat Bajo, yang dia identifikasi ada di beberapa pulau, seperti Kayuadi dan Ara. Kabarnya, kata dia, ada pula lontaraq yang disimpan oleh tetua Bajo di Rajuni dan Tarupa.
Pulau Tinabo di Taman Nasional Taka Bonerate, Kepulauan Selayar. Di sini, balai taman nasional mendorong kegiatan ekowisata yang melibatkan masyarakat pulau sekitar untuk menjadi tuan rumah dalam sektor wisata. Andalan utama kegiatan wisata adalah menyelam dan atraksi budaya. (Sanovra Jr/Tribun Timur)
Rajuni pegang salah satu kunci? Wajar saja, saya pikir. Sebab, saat berkunjung ke Pulau Rajuni Kecil, kita bisa berjumpa dua kluster warga: Bajo dan Bugis. Batas wilayah kedua komunitas itu ditandai oleh sebuah masjid cantik yang ada di tengah pulau. Tak jauh dari pulau itu, terdapat nusa yang lebih besar: Rajuni Besar.
Nama Rajuni berasal dari kosa kata Bajo. Artinya, rajanya. Alkisah, Orang Bajo tersebar di perairan Taka Bonerate hingga Laut Flores. Mereka telah terbiasa memanfaatkan alam bahari untuk kehidupan sehari-hari. Pada suatu waktu, wilayah mereka didatangi oleh suku pendatang, seperti Bugis, Selayar, Buton, dan Makassar.
Setiap pelaut pendatang yang masuk ke wilayah Bajo kerap mencari keberadaan raja yang memimpin suku dan menguasai kawasan laut itu. Para pelaut itu terbiasa dengan konsep kerajaan yang berada di daratan, sehingga mereka beranggapan Orang Bajo punya kerajaan dengan sistem monarki yang sama dengan orang darat. Warga Bajo pun kalau dapat pertanyaan soal keberadaan raja mereka selalu menunjuk Pulau Rajuni. Dengan begitu, pulau yang berdampingan itu dikenal dengan nama tadi.
Penulis | : | Dok Grid |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR