Pulau Latondu, salah satu nusa berpenduduk di kawasan Taman Nasional Taka Bonerate, Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. (Asri)
Tiap pulau dan warga Bajo yang berada dalam kawasan taman nasional punya kisah masing-masing. Nama Taka Bonerate mendunia bukan hanya kehidupan bahari Bajo, tetapi tempat ini menahbiskan diri sebagai habitat terumbu karang atol terbaik di Indonesia. Ketiga terbesar di dunia setelah Kwajifein di Kepulauan Marshall dan Suvadiva di Kepulauan Maladewa. Atol adalah terumbu karang berbentuk cincin atau disebut juga terumbu karang cakar macan.
Di taman nasional ada 21 pulau yang terserak mengisi wilayah selatan Sulawesi, perairan Laut Flores. Pulau Pasitallu Timur, yang menjadi pusat kegiatan Kemah Konservasi, termasuk kawasan selatan dari taman nasional. Karena berada di koridor laut dalam, perairan taman nasional kerap menjadi perlintasan mamalia laut penting, seperti paus dan lumba-lumba.
Hiu-hiu sirip hitam kecil berenang di tepian pantai Pulau Tinabo yang terletak di Taman Nasional Taka Bonerate, Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. (TN Taka Bonerate/Asri)
Kata Asri, ada 16 titik penyelaman di wilayah taman nasional. Namun, untuk pengembangan wisata minat khusus selam, akan dipusatkan di Pulau Tinabo. Lalu, agar warga tak menjadi penonton, pihak pengelola taman nasional mendorong konsep ekowisata untuk pulau sekitarnya. Mereka juga mengembangkan wisata budaya pada pulau-pulau yang berpenduduk (Selain Bajo dan Bugis, ada pula komunitas Buton, Flores dan Selayar).
Sejauh mata memandang, taman nasional dilingkupi oleh terumbu karang. Saat air laut dalam kondisi surut, kita dengan mudah melihat gradasi hijau muda berlantai pasir putih ke biru laut yang pekat. Kawasan terumbu di wilayah lindung ini ukurannya tiga kali lebih besar ketimbang luas provinsi DKI Jakarta.
Bungin Belle, salah satu bungin atau gusung yang ada di Taman Nasional Taka Bonerate, Kepulauan Selayar. Gusung ini menjadi tempat bermukim sementara bagi nelayan Bajo asal Pulau Pasitallu Timur, di kawasan taman nasional saat musim melaut. (Asri)
Kita juga menjumpai pulau-pulau di taman nasional dengan karakter yang landai dan berada 2 hingga 4 meter di atas permukaan air. Panjangnya 200 hingga 2.000 meter, dengan lebar 100 hingga 1.000 meter. Pulau-pulau di sini juga punya pasir putih yang halus. Bila menginjakkan kaki tanpa alas, akan terasa mengental seperti tepung.
Ketika musim angin timur, muncul puluhan hamparan pasir putih tanpa pohon yang disebut bungin atau gusung. Biasanya bungin digunakan nelayan untuk membangun rumah singgah guna mempercepat gerak mereka di laut. Rumah itu bertahan hingga dua bulan dan kembali tersapu gelombang bersama bungin ketika angin barat bertiup.
Bungin Belle, salah satu bungin yang menjadi tempat singgah nelayan Bajo dari Pulau Pasitallu Timur di wilayah Taman Nasional Taka Bonarate, Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. (Sanovra Jr/Tribun Timur)
Kami sempat mendatangi Bungin Belle, yang menjadi tempat singgah nelayan Bajo asal Pasitallu Timur saat musim melaut tiba. “Wah, saya lihat HP, suhunya 45 derajat. Pantas panas sekali,” kata Asri, yang menemani rombongan saat berkunjung ke Bungin Belle. Di bungin, kami memang seperti terbakar. Selain deretan rumah “singgah” Bajo itu, taka da tegakan lain yang bisa jadi tempat berteduh.
Pada 1929, dalam buku Sebaran dan Perkembangan Terumbu Karang di Indonesia Timur, Molengraff menulis Taka Bonerate sebagai Tiger Island atau Atol Harimau. Masyarakat mempercayai nama itu bukan sembarang nama. Mereka mengibaratkan Taka Bonerate sebagai mulut macan. Salah sedikit memasuki perairan itu, boleh jadi tak bisa keluar. Ini barangkali terjadi lantaran keganasan alam dan kesulitan menjangkau taman laut tadi.
Kalau mau melaut ke sini memang dibutuhkan nyali besar. Asri mengatakan, kadang-kadang jolloro (perahu bercadik khas Sulawesi Selatan) terombang-ambing dipermainkan ombak. Tinggi gelombangnya mencapai 5 meter hingga 7 meter. Keadaan alam seperti itu menguntungkan karena orang-orang akan sulit menjamahnya.
Atraksi budaya yang ditunjukkan oleh penduduk Desa Khusus Pasitallu yang berdiam di Pulau Pasitallu Timur. Selain wisata bahari, pengelola Taman Nasional Taka Bonerate juga mendorong pengembangan wisata budaya yang digelar di setiap pulau di wilayah lindung perairan itu. Masyarakat di dalam kawasan yang berada di wilayah Kabupaten Kepulauan Selayar itu menjadi tuan rumah dalam industri pariwisata yang kini semakin bergerak maju. (Sanovra Jr/Tribun Timur)
“Kemarin itu, Pak Kepala sempat mengalami masalah di laut. Mesin kapal mati, sementara ombak lagi tinggi,” cerita Asri. Belum lagi saya konfirmasi, Jusman telah lebih dulu mengisahkannya saat kami berbincang santai dengan Safii, Kepala Kecamatan Taka Bonerate selepas makan siang.
Kisah bahari memang selalu asyik untuk didalami. Bukan hanya kehidupan di atas air, cerita bawah air pun kerap membuat kita tercengang. Itu sebabnya, Samson gemar “ngebolang” ke sejumlah pulau buat lebih kenal dengan kehidupan. “Ah, saya ndak berhasil jumpa ibu angkat. Katanya, dia lagi pergi ke pasar.” Ada nada sedih sewaktu dia kembali dari Rajuni.
Di tepi pantai Tinabo, pengunjung destinasi wisata di kawasan Taman Nasional Taka Bonerate, Kepulauan Selayar, dapat berenang dan bermain air bersama kawanan anak ikan hiu sirip hitam. (Sanovra Jr/Tribun Timur)
Samson tak berlama bersedih. Sewaktu kami berpamitan pergi dari Tinabo jelang tengah malam, Samson memutuskan tinggal. “Tidak. Saya tidak ikut pulang. Saya mau bantu teman untuk penelitian di sini. Saya sudah janji mau bantu dia ambil data (penelitian),” katanya mantap, tak lagi galau. Jadilah, Samson kembali bertualang di antara kehidupan bahari di kaki Sulawesi. Kami pun saling melambaikan tangan.
Penulis | : | Dok Grid |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR