“Saya mau (pergi) ke Rajuni. Sabantar ada kapal, saya mau ikut (ke sana).”
Saya menatapnya heran. Dia tampak gelisah, seperti tak sabar untuk segera pergi dari hadapan saya.
“Saya mau nengok ibu saya (di sana).”
Saya berkerenyit. Belum lagi saya melempar pertanyaan, dia memberikan keterangan tambahan.
“Saya punya keluarga angkat. Di setiap pulau (yang saya kunjungi), saya selalu mencari keluarga angkat.”
Seketika, rasa kagum saya menyeruak. Hebat betul, pemuda yang menjadi lawan bicara saya ini. Dia mampu menempatkan diri di antara masyarakat baru dalam setiap penjelajahannya.
Kenalkan teman baru saya, namanya Arfan Hamka. Tubuhnya gempal, padat berisi. Meski begitu, tinggi tubuhnya tak mampu melewati kepala saya, yang punya catatan tinggi badan sebesar 170 cm. Dengan perawakannya, saya tak heran, mengapa dia akrab disapa “Samson”. Nama panggilan itu kerap dia lontarkan saat lawan bicaranya bertambah karib. “Saya biasa dipanggil Samson,” begitu katanya, tanpa berikan alasan lebih jauh.
Berjalan di antara tumpukan sampah yang terseret arus laut, Arfan Hamka (kerap disapa Samson) prihatin atas kondisi wilayah perairan di kaki Sulawesi. Arfan yang tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin mengusulkan sampah yang menumpuk itu dimanfaatkan sebagai infrastruktur pendukung pulau-pulau kecil di kawasan Taman Nasional Taka Bonerate. (Bayu Dwi Mardana Kusuma)
Pulau Pasitallu Timur, yang berada di bagian selatan Taman Nasional Taka Bonerate, Kepulauan Selayar. Penduduk di pulau ini adalah keturunan Suku Bajo, yang telah terkenal melaut hingga benua tetangga, Australia. (Sanovra Jr/Tribun Timur)
Arfan alias Samson tercatat sebagai mahasiswa semester sembilan Jurusan Kelautan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin di Makassar, Sulawesi Selatan. Kuliahnya memang agak keteteran. Maklum, dia lebih suka “ngebolang” ketimbang diam dalam kelas menerima sejumlah teori dari sang pengajar. Sekalipun, dia mengaku, terbiasa menjadi “penghuni gelap” kampus (tak punya rumah kos, tapi bersarang di lingkungan kampus).
“Setiap kali ada kegiatan di pulau, saya selalu mencari keluarga angkat. Hampir setiap pulau yang saya datangi selalu ada keluarga (angkat). Buat saya itu yang penting,” Samson membuka kisahnya.
Penampilan Samson memang mencerminkan laki-laki penyuka alam bebas dan tak ingin terikat aturan rumit kampus. Berambut panjang melewati bahu, meski saya prediksi dalam beberapa tahun ke depan dia bakal kehilangan mahkota hitam itu, lantaran kepalanya punya potensi membotak seperti kebanyakan para ahli. Supaya nyaman, dia selalu menguncir ala cepol. Dan, biar tambah gaya, kacamata hitam selalu ditaruh di kepala. Kaus oblong dan celana selutut menjadi pakaian “resmi”nya. Kulitnya menggelap, gara-gara lebih sering berada di lapangan ketimbang dalam ruangan.
Lelaki berusia 23 tahun ini tak terlalu menyukai hal-hal yang bersifat formal dan seremonial. Pastinya, Samson lebih gemar berbincang santai sembari mengisap tembakau produksi perusahaan rokok papan atas di negeri ini. Terlebih lagi, ada minuman hasil seduhan kopi yang bercampur dengan susu.
(Yang bikin saya kagum, dia begitu disiplin membawa kotak kecil yang di bagian luarnya tertulis “Samson”. Kotak kecil ini selalu dia genggam saat “ngudut”, sebab berfungsi sebagai asbak. Saat rokok sudah jadi puntung, sampahnya dia taruh di dalam kotak. Selama bergaul dengannya, dia tak pernah membuang sampah tembakau itu dengan sembarangan. Dari situ, saya bisa menilai kecintaannya terhadap lingkungan, khususnya laut memang tinggi. Semuanya berawal dari hal yang sederhana).
Kehidupan nelayan di Pulau Latondu, Taman Nasional Taka Bonerate, yang termasuk wilayah Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. (Asri)
“Pulau Rajuni saya kunjungi sewaktu ikut kegiatan Ekspedisi Nusantara Jaya kemarin. Di situ, saya dapat keluarga angkat yang baru.” Samson bangga bisa tergabung dalam kegiatan yang digelar oleh Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman pada akhir September lalu.
Untuk kegiatan wilayah Sulawesi Selatan, ada sebanyak 51 anak muda dan mahasiswa yang tergabung dalam ekspedisi dengan tempat pengabdian yang terbagi dua kelompok. Buat pemuda kebagian tugas di Pulau Jinato dan Latondu, sementara kelompok mahasiswa berada di Pulau Kayuadi dan Jampea. Semua pulau itu termasuk wilayah Kabupaten Kepulauan Selayar.
Dasar anak laut, Samson tak bisa diam di satu pulau. Dia pergi menjelajah ke sejumlah pulau yang ada di lingkungan kabupaten, termasuk Rajuni. Di situlah, dia memanfaatkan sifat ramah untuk mendapatkan teman dan keluarga baru. Tak heran, dia selalu merasa nyaman dalam setiap kegiatan.
Mahasiswa yang mengaku pernah melakukan budidaya kuda laut di laboratorium kampus itu lahir di Lempokasi. Belum pernah mendengar nama tempat ini? Tempat kelahiran Samson termasuk wilayah Kabupaten Luwu. Letaknya sebelah timur laut dari Makassar, pusat peradaban Sulawesi Selatan. Lempokasi tak jauh dari kawasan pesisir.
Saya langsung akrab dengan Samson, lantaran kami satu kelompok penginapan dalam kegiatan “Kemah Konservasi 2017” yang digelar oleh Balai Taman Nasional Taka Bonerate. Acara kemping bareng ini berlangsung pada 24 – 26 Oktober. Lokasi kegiatan berpusat di lapangan tepi pantai Desa Khusus Pasitallu, wilayah administratif penghuni Pulau Pasitallu Timur, bagian selatan taman nasional.
Kegiatan Kemah Konservasi yang digelar oleh Balai Taman Nasional Taka Bonerate juga diisi dengan aktivitas pengenalan transplantasi karang di Pulau Pasitallu Tengah, yang berdekatan dengan Pasitallu Timur. Kegiatan yang melibatkan anak-anak pulau punya misi untuk meningkatkan kepedulian warga terhadap lingkungan perairan sekitarnya. (Sanovra Jr/Tribun Timur)
Kami berbeda nasib dalam memenuhi undangan acara. Samson terpilih lantaran dia mendapatkan penugasan dari sang pengajar di jurusan Kelautan, yang semestinya menjadi salah satu narasumber dalam rangkaian kegiatan. Sementara itu, saya bisa jalan-jalan gratis berkat upaya yang dilakukan oleh Asri, staf balai taman nasional yang bertugas sebagai pengendali ekosistem hutan.
Gara-gara Samson, saya menjadi penasaran dengan kata “Rajuni”. Apalagi, saat menjadi bagian dari juri kontes pemilihan duta karang dalam Kemah Konervasi, saya langsung jatuh hati dengan Ahmad Rifandi. Salah seorang peserta ini datang dari Desa Rajuni, yang berada di Pulau Rajuni kecil, bagian dari taman nasional. Dia tercatat sebagai siswa kelas 9 SMP Negeri 2 Takabonerate. Rajuni termasuk dalam wilayah Kecamatan Takabonerate.
Ahmad berhasil merayu saya untuk memberikan nilai maksimal dengan gaya alaminya. “Santai-santai ya,” katanya dari atas panggung sambil tertawa kepada penonton, yang mayoritas adalah penduduk Pasitallu. Mayoritas warga adalah keturunan Bajo, suku laut yang begitu terkenal hingga negara tetangga. Ahmad tak demam panggung. Dia pun berani menjawab pertanyaan juri dengan lugas.
Kegiatan transplantasi karang di Taman Nasional Taka Bonerate, Kepulauan Selayar. Kegiatan perlindungan laut terus dikenalkan kepada generasi muda Bajo dan warga pulau lainnya agar mereka peduli terhadap lingkungan sekitarnya. (Sanovra Jr/Tribun Timur)
Buat saya, Ahmad pantas terpilih sebagai duta karang. Rasa percaya diri telah tumbuh. Dia mau menguasai panggung di hadapan ratusan pasang mata pada malam yang gerah itu. Dengan gaya yang khas, dia pun cepat diingat oleh audiens. Bahkan, beberapa di antara penonton, telah yakin Ahmad bakal keluar sebagai jawara.
“Nanti yang terpilih sebagai duta karang akan kami berangkatkan ke Jakarta untuk menjadi wakil (taman nasional) Taka Bonerate di acara pameran selam,” kata Jusman, kepala taman nasional saat memulai kegiatan awal seleksi. Tepuk tangan pun mengiringi akhir kalimat sang kepala balai pengelola.
Sewaktu saya melontarkan sederetan pertanyaan tentang terumbu karang dan ikan, Ahmad dan peserta lainnya tampak lebih nyaman menjawab dengan bahasa Bajo. Entah itu soal penyebutan nama ataupun istilah keseharian. Mereka mengenali seluruh penghuni terumbu, tapi buat menyebutkannya kembali lebih percaya diri dalam kosa kata Bajo.
Kehidupan Orang Bajo di Desa Khusus Pasitallu yang menghuni Pulau Pasitallu Timur. Di dalam kawasan Taman Nasional Taka Bonerate, Kepulauan Selayar, ada sejumlah pulau yang memiliki penduduk dari suku lain, seperti Bugis, Flores, dan Selayar. (Sanovra Jr/Tribun Timur)
Bungin Belle, salah satu bungin atau gusung yang ada di Taman Nasional Taka Bonerate, Kepulauan Selayar. Gusung ini menjadi tempat bermukim sementara bagi nelayan Bajo asal Pulau Pasitallu Timur, di kawasan taman nasional saat musim melaut. (Asri)
Bajo yang menghuni wilayah Kepulauan Selayar telah menarik perhatian dunia sejak lama. Entah sudah berapa banyak wisatawan hingga peneliti mancanegara (tentu, termasuk pejalan partikelir macam saya) yang ingin mengetahui lebih dalam kehidupan suka nomad laut ini.
Mau tahu contohnya? Tengoklah riwayat penelitian dari Horst H. Liebner. Peneliti kelahiran Jerman 57 tahun silam itu begitu intens meneliti kehidupan masyarakat Sulawesi Selatan dan Tenggara, termasuk Bajo. Horst mendapatkan sarjana Sastra Indonesia dan Melayu dari Universitas Koln di Jerman. Pada 1987, dia mendapatkan beasiswa untuk bersekolah di Universitas Hasanuddin. Dari situlah, Horst makin dalam meneliti kehidupan bahari di kaki Sulawesi. Bahkan, saat ini, dia menyatakan bahwa dia telah mewakafkan diri untuk merawat tradisi maritim Sulawesi. Wow!
Pada 1996, Horst menggelar penelitian tentang cerita asal muasal Orang Bajo yang bermukim di wilayah selatan Selayar. Dia menyusuri bagian selatan Teluk Bone hingga terus semakin ke selatan di Selayar. Dari situ, dia mengumpulkan empat cerita oral tentang asal mula Orang Bajo. Kisah itu juga tercantum dalam lontaraq, manuskrip yang mengisahkan riwayat Bajo, yang dia identifikasi ada di beberapa pulau, seperti Kayuadi dan Ara. Kabarnya, kata dia, ada pula lontaraq yang disimpan oleh tetua Bajo di Rajuni dan Tarupa.
Pulau Tinabo di Taman Nasional Taka Bonerate, Kepulauan Selayar. Di sini, balai taman nasional mendorong kegiatan ekowisata yang melibatkan masyarakat pulau sekitar untuk menjadi tuan rumah dalam sektor wisata. Andalan utama kegiatan wisata adalah menyelam dan atraksi budaya. (Sanovra Jr/Tribun Timur)
Rajuni pegang salah satu kunci? Wajar saja, saya pikir. Sebab, saat berkunjung ke Pulau Rajuni Kecil, kita bisa berjumpa dua kluster warga: Bajo dan Bugis. Batas wilayah kedua komunitas itu ditandai oleh sebuah masjid cantik yang ada di tengah pulau. Tak jauh dari pulau itu, terdapat nusa yang lebih besar: Rajuni Besar.
Nama Rajuni berasal dari kosa kata Bajo. Artinya, rajanya. Alkisah, Orang Bajo tersebar di perairan Taka Bonerate hingga Laut Flores. Mereka telah terbiasa memanfaatkan alam bahari untuk kehidupan sehari-hari. Pada suatu waktu, wilayah mereka didatangi oleh suku pendatang, seperti Bugis, Selayar, Buton, dan Makassar.
Setiap pelaut pendatang yang masuk ke wilayah Bajo kerap mencari keberadaan raja yang memimpin suku dan menguasai kawasan laut itu. Para pelaut itu terbiasa dengan konsep kerajaan yang berada di daratan, sehingga mereka beranggapan Orang Bajo punya kerajaan dengan sistem monarki yang sama dengan orang darat. Warga Bajo pun kalau dapat pertanyaan soal keberadaan raja mereka selalu menunjuk Pulau Rajuni. Dengan begitu, pulau yang berdampingan itu dikenal dengan nama tadi.
Pulau Latondu, salah satu nusa berpenduduk di kawasan Taman Nasional Taka Bonerate, Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. (Asri)
Tiap pulau dan warga Bajo yang berada dalam kawasan taman nasional punya kisah masing-masing. Nama Taka Bonerate mendunia bukan hanya kehidupan bahari Bajo, tetapi tempat ini menahbiskan diri sebagai habitat terumbu karang atol terbaik di Indonesia. Ketiga terbesar di dunia setelah Kwajifein di Kepulauan Marshall dan Suvadiva di Kepulauan Maladewa. Atol adalah terumbu karang berbentuk cincin atau disebut juga terumbu karang cakar macan.
Di taman nasional ada 21 pulau yang terserak mengisi wilayah selatan Sulawesi, perairan Laut Flores. Pulau Pasitallu Timur, yang menjadi pusat kegiatan Kemah Konservasi, termasuk kawasan selatan dari taman nasional. Karena berada di koridor laut dalam, perairan taman nasional kerap menjadi perlintasan mamalia laut penting, seperti paus dan lumba-lumba.
Hiu-hiu sirip hitam kecil berenang di tepian pantai Pulau Tinabo yang terletak di Taman Nasional Taka Bonerate, Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. (TN Taka Bonerate/Asri)
Kata Asri, ada 16 titik penyelaman di wilayah taman nasional. Namun, untuk pengembangan wisata minat khusus selam, akan dipusatkan di Pulau Tinabo. Lalu, agar warga tak menjadi penonton, pihak pengelola taman nasional mendorong konsep ekowisata untuk pulau sekitarnya. Mereka juga mengembangkan wisata budaya pada pulau-pulau yang berpenduduk (Selain Bajo dan Bugis, ada pula komunitas Buton, Flores dan Selayar).
Sejauh mata memandang, taman nasional dilingkupi oleh terumbu karang. Saat air laut dalam kondisi surut, kita dengan mudah melihat gradasi hijau muda berlantai pasir putih ke biru laut yang pekat. Kawasan terumbu di wilayah lindung ini ukurannya tiga kali lebih besar ketimbang luas provinsi DKI Jakarta.
Bungin Belle, salah satu bungin atau gusung yang ada di Taman Nasional Taka Bonerate, Kepulauan Selayar. Gusung ini menjadi tempat bermukim sementara bagi nelayan Bajo asal Pulau Pasitallu Timur, di kawasan taman nasional saat musim melaut. (Asri)
Kita juga menjumpai pulau-pulau di taman nasional dengan karakter yang landai dan berada 2 hingga 4 meter di atas permukaan air. Panjangnya 200 hingga 2.000 meter, dengan lebar 100 hingga 1.000 meter. Pulau-pulau di sini juga punya pasir putih yang halus. Bila menginjakkan kaki tanpa alas, akan terasa mengental seperti tepung.
Ketika musim angin timur, muncul puluhan hamparan pasir putih tanpa pohon yang disebut bungin atau gusung. Biasanya bungin digunakan nelayan untuk membangun rumah singgah guna mempercepat gerak mereka di laut. Rumah itu bertahan hingga dua bulan dan kembali tersapu gelombang bersama bungin ketika angin barat bertiup.
Bungin Belle, salah satu bungin yang menjadi tempat singgah nelayan Bajo dari Pulau Pasitallu Timur di wilayah Taman Nasional Taka Bonarate, Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. (Sanovra Jr/Tribun Timur)
Kami sempat mendatangi Bungin Belle, yang menjadi tempat singgah nelayan Bajo asal Pasitallu Timur saat musim melaut tiba. “Wah, saya lihat HP, suhunya 45 derajat. Pantas panas sekali,” kata Asri, yang menemani rombongan saat berkunjung ke Bungin Belle. Di bungin, kami memang seperti terbakar. Selain deretan rumah “singgah” Bajo itu, taka da tegakan lain yang bisa jadi tempat berteduh.
Pada 1929, dalam buku Sebaran dan Perkembangan Terumbu Karang di Indonesia Timur, Molengraff menulis Taka Bonerate sebagai Tiger Island atau Atol Harimau. Masyarakat mempercayai nama itu bukan sembarang nama. Mereka mengibaratkan Taka Bonerate sebagai mulut macan. Salah sedikit memasuki perairan itu, boleh jadi tak bisa keluar. Ini barangkali terjadi lantaran keganasan alam dan kesulitan menjangkau taman laut tadi.
Kalau mau melaut ke sini memang dibutuhkan nyali besar. Asri mengatakan, kadang-kadang jolloro (perahu bercadik khas Sulawesi Selatan) terombang-ambing dipermainkan ombak. Tinggi gelombangnya mencapai 5 meter hingga 7 meter. Keadaan alam seperti itu menguntungkan karena orang-orang akan sulit menjamahnya.
Atraksi budaya yang ditunjukkan oleh penduduk Desa Khusus Pasitallu yang berdiam di Pulau Pasitallu Timur. Selain wisata bahari, pengelola Taman Nasional Taka Bonerate juga mendorong pengembangan wisata budaya yang digelar di setiap pulau di wilayah lindung perairan itu. Masyarakat di dalam kawasan yang berada di wilayah Kabupaten Kepulauan Selayar itu menjadi tuan rumah dalam industri pariwisata yang kini semakin bergerak maju. (Sanovra Jr/Tribun Timur)
“Kemarin itu, Pak Kepala sempat mengalami masalah di laut. Mesin kapal mati, sementara ombak lagi tinggi,” cerita Asri. Belum lagi saya konfirmasi, Jusman telah lebih dulu mengisahkannya saat kami berbincang santai dengan Safii, Kepala Kecamatan Taka Bonerate selepas makan siang.
Kisah bahari memang selalu asyik untuk didalami. Bukan hanya kehidupan di atas air, cerita bawah air pun kerap membuat kita tercengang. Itu sebabnya, Samson gemar “ngebolang” ke sejumlah pulau buat lebih kenal dengan kehidupan. “Ah, saya ndak berhasil jumpa ibu angkat. Katanya, dia lagi pergi ke pasar.” Ada nada sedih sewaktu dia kembali dari Rajuni.
Di tepi pantai Tinabo, pengunjung destinasi wisata di kawasan Taman Nasional Taka Bonerate, Kepulauan Selayar, dapat berenang dan bermain air bersama kawanan anak ikan hiu sirip hitam. (Sanovra Jr/Tribun Timur)
Samson tak berlama bersedih. Sewaktu kami berpamitan pergi dari Tinabo jelang tengah malam, Samson memutuskan tinggal. “Tidak. Saya tidak ikut pulang. Saya mau bantu teman untuk penelitian di sini. Saya sudah janji mau bantu dia ambil data (penelitian),” katanya mantap, tak lagi galau. Jadilah, Samson kembali bertualang di antara kehidupan bahari di kaki Sulawesi. Kami pun saling melambaikan tangan.
Penulis | : | Dok Grid |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR