Baru-baru ini Apple mengumumkan peluncuran iPhone 8 dan iPhoneX, yang hadir dengan fitur baru nan ramping. Apple juga berharap untuk memulai komunitas baru seputar iPhone. Menjelang peluncuran, Angela Ahrendts, Kepala Pemasaran di Apple, mengatakan bahwa gerai mereka akan disebut “Alun-Alun Kota” (Town Squares) dengan fungsi sebagai ruang publik, lengkap dengan tempat berkumpul luar dan dalam ruangan.
Peluncuran produk yang banyak dinanti ini diikuti oleh jutaan orang yang menyaksikan acara tersebut melalui siaran langsung dan pada forum internet, blog, dan berita media.
Saya termasuk di antara mereka.
Jadi, apa yang membuat orang-orang tertarik dengan telepon genggam ini? Tentunya, bukan sekadar desain yang inovatif atau hubungan yang dekat dengan komunitas. Sebagai seorang pendeta, psikoterapis, dan peneliti yang mempelajari hubungan kita dengan piranti genggam, saya yakin ada hal-hal lain di belakang itu.
(Baca juga: 5 Inovasi Berbasis "Smartphone" Terbaik untuk Kesehatan Manusia)
Sesungguhnya, menurut saya, seperti yang saya kemukakan di buku Growing Down: Theology and Human Nature in the Virtual Age telepon genggam merasuk ke dalam kerinduan dasar kita sebagai manusia.
Ini tiga alasan saya mengapa kita mencintai telepon genggam kita.
Kesadaran mengenai diri kita mulai terbentuk sejak dalam kandungan. Namun, perkembangan pemahaman kita mengenai diri berkembang dengan cepat setelah kita lahir. Seorang bayi yang baru lahir pertama-tama menggantungkan dirinya kepada pengasuh utama dan selanjutnya pada benda-benda—dengan ini mengembangkan yang disebut “diri yang diperluas” (extended self).
Psikolog terkemuka Amerika abad 20 William James termasuk orang pertama yang mengajukan adanya konsep diri yang diperluas. Dalam bukunya Principles of Psychology James mengartikan diri sebagai “keseluruhan dari semua hal yang seseorang bisa sebut sebagai miliknya, tidak hanya tubuh dan kekuatan psikis-nya, tapi juga pakaiannya, rumahnya, istrinya dan anak-anaknya”. Kehilangan satu dari perluasan diri ini—bisa mencakup uang atau benda berharga lainnya—menurutnya bisa menyebabkan rasa kehilangan yang hebat. Pada masa awal kanak-kanak, misalnya, bayi dan balita menangis bila tiba-tiba mereka kehilangan dot atau boneka favorit mereka, benda-benda yang menjadi bagian dari “diri yang diperluas” mereka.
Berinteraksi di dunia maya. Kita sering sekali memeriksa ponsel kita, ketika sedang berada di kamar mandi, sedang menonton tv, juga ketika kita sedang berkumpul bersama teman-teman. Apa dampak buruknya? (Thinkstockphoto)
Telepon genggam, menurut saya, memiliki peran serupa. Saya dapat merasa gelisah jika menjatuhkan telepon atau tidak bisa menemukan di mana telepon saya. Dalam pengalaman saya, banyak orang yang merasa demikian. Hal itu juga tercermin dari betapa seringnya kebanyakan dari kita mengecek gawai yang kita punya.
Psikolog Larry Rosen dan koleganya di California State University menemukan bahwa 51% individu yang lahir pada 1980-an dan 1990-an mengalami kecemasan dengan kadar sedang hingga tinggi ketika mereka dihalangi untuk mengecek gawai mereka selama lebih dari 15 menit. Yang menarik, persentase ini sedikit turun menjadi 42% pada mereka yang lahir antara 1965 hingga 1979.
Ini utamanya karena mereka hidup di saat piranti genggam baru saja muncul. Untuk kelompok ini, baru ketika mereka remaja akhir atau dewasa muda telepon menjadi perluasan diri.
Penulis | : | |
Editor | : | dian prawitasari |
KOMENTAR